Daily Archives: April 11, 2011

Pendidikan Karakter

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

 

Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

 

Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

 

Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Pendidikan Karakter

Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:

  1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
  3. Menunjukkan sikap percaya diri;
  4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
  5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
  6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
  7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
  8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
  9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
  10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
  11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
  12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
  13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
  14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
  15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
  16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
  17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
  18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
  19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
  20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
  21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

Bahasa Jawa adalah Bahasa Asing

SUATU ketika, ada keluarga muda yang memiliki seorang anak. Anak tersebut diajari bahasa Indonesia dan sesekali sedikit diselipi dengan bahasa Inggris. Saat si anak tersebut berhasil mengucapkan nama suatu benda yang ditunjuk oleh orangtuanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris, terlihat jelas betapa bangganya pasangan orangtua tersebut.

Hal semacam itu tentu sering dijumpai di sekitar kita. Banyak orangtua, terutama keluarga muda masa sekarang yang memilih mengajarkan bahasa ibu kepada seorang anak bukan lagi dalam bahasa Jawa, melainkan bahasa Indonesia. Bahkan, tidak jarang ditemui, orangtua yang memilih sejak dini sudah mengajarkan bahasa asing (utamanya bahasa Inggris) asing sebagai bahasa kedua bagi si anak.

Sejalan dengan tersebut, Dawud (100: 2008) menyebutkan bahwa pada umumnya siswa sekolah dasar (SD) di Jawa Timur (di luar Pulau Madura dan pulau sekitarnya) berbahasa pertama adalah bahasa Jawa dan berbahasa kedua disebutnya bahasa Indonesia. Di sebagian wilayah lainnya, terutama yang berada di daerah perkotaan dan di dalam keluarga muda, bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia sementara bahasa keduanya yang diperkenalkan kepada si anak adalah bahasa daerah (Jawa).

Memang sepintas hal tersebut tidaklah memiliki arti yang signifikan mengenai penggunaan bahasa pertama ataupun bahasa kedua yang diajarkan kepada anak-anak mereka. Namun, perlu kita sadari bahwa di provinsi Jawa Timur ini memiliki salah satu khasanah kebudayaan yakni khasanah bahasa daerah, bahasa Jawa.

Bahasa Jawa yang ada di Jawa Timur adalah bahasa Jawa yang memiliki standar ragam bahasa (Jawa) Surakarta dan Jogjakarta. Terdapat beberapa tingkatan atau ragam bahasa dalam bahasa Jawa, yaitu ragam ngoko, ragam krama baik krama madya atau krama inggil.

Ragam ini pula yang menjadikan sebuah bahasa Jawa menjadi satu-satunya bahasa yang luar biasa, karena memiliki tingkatan yang disesuaikan berdasarkan konteks yang melatarbelakangi percakapan. Di sinilah sebenarnya bahasa Jawa juga melatih unggah-ungguh atau tata krama yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bisa memperhalus budi pekerti seseorang yang mempergunakan bahasa daerah (Jawa) tersebut.

Sementara itu, banyak terjadi kesalahan yang digunakan oleh anak-anak zaman sekarang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa daerah (Jawa). Kondisi yang sebetulnya sangat memprihatinkan bagi kita semua. Lihat saja, tidak jarang para anak muda tersebut terkadang mencampur-adukkan ragam bahasa dalam percakapan, sehingga terdengar aneh di telinga dan dengans endirinya tidak sesuai dengan penggunaan yang seharusnya.

Misalnya, kulo sare, kulo dhahar, kulu kundur, dan seterusnya. Ragam tersebut tentu saja tidak tepat karena krama inggil digunakan untuk pembicara. Berdasarkan kasus tersebut, maka perlu adanya evaluasi dan reformulasi pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah.

Perlunya pengajaran yang menarik untuk bahasa daerah. Bisa jadi, pengajaran bahasa daerah (Jawa) yang hanya diajarkan di dalam kelas saja dan bersifat hapalan teoritis menyebabkan siswa didik menjadi jemu dan merasa bosan. Hal tersebut membuat siswa didik seolah merasa bahwa belajar bahasa daerah (Jawa) itu tidak ubahnya seperti belajar bahasa asing saja.

Pembelajaran bahasa daerah (Jawa) dapat dilakukan di luar kelas sekaligus melakukan kegiatan identifikasi benda secara langsung. Siswa akan kesulitan apabila harus membayangkan. Misalnya, arane godhong: godhong aren (dliring), godhong jarak (bledheg), dan sebagainya.

Contoh lainnya, seorang guru bisa mencari gambar-gambar yang menyertai pelajaran bahasa daerah (Jawa) tersebut dengan searching di sejumlah situs yang menyediakannya. Salah satunya adalah di situs macam google.com/image untuk kemudian ditampilkan di layar. Namun, tentu saja hal tersebut bisa dilakukan terutama untuk sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas pendukung yang memadai.

Salah satu reformulasi yang bisa dilakukan adalah melalui MGMP. MGMP ini menghasilkan rumusan pengajaran bahasa daerah (Jawa) yang sesuai dengan kondisi daerah dan sekolah masing-masing. Dan, perlunya dukungan berbagai pihak untuk melestarikan bahasa daerah (Jawa) di tengah-tengah generasi yang sarat dijejali dengan jutaan informasi saat ini. Semoga.

Kitaro, Tua tapi Tetap Perkasa!

Jam sudah menunjukkan pukul 20.15 WIB, tetapi Kitaro yang ditunggu-tunggu belum muncul di panggung. Penonton pun mulai gelisah. Mereka bertepuk tangan tanda tak sabar ingin segera menyaksikan musisi gaek asal Jepang itu di Jakarta Convention Center (JCC) pada Kamis (7/4/2011).

Akhirnya, setelah menunggu 10 menit, tepat pukul 20.25 WIB, lampu panggung dimatikan, awak Kitaro muncul disertai tepuk tangan panjang penonton.

Saat lampu menyala kembali, tampak di panggung belakang terdapat dua taiko ukuran besar dan beberapa timpani serta seperangkat drum. Di panggung bagian depan berjajar tiga perangkat set keyboard.

Tanpa kata pembuka, Kitaro langsung membuka pertunjukan dengan lagu “Sanctus-Waterphone-Guzheng-01w (Keiko)”. Bunyi synthesizer mengalun dengan nuansa mistis, disertai suara genta. Dan, bagai kesatria samurai, Kitaro menggerakkan tangan kirinya seirama deru suara angin dari keyboard yang dimainkannya bersama dua pemain keyboard perempuan yang mendampinginya. Tak lama Kitaro di papan musik itu, selanjutnya dia mencabik-cabik sitarnya. Maka, tergelarlah nuansa pegunungan dengan pepohonan pinus berembun yang tertiup angin berembus lirih.

Kitaro pun mulai membangun suasana dengan lagu “Fire, Pan Flute (an/f)” dan “Wind and Wafe”. Pada “Fire Pan Flute”, Kitaro memainkan gitar senar 12 yang bergemerincing, lagu ini berproses dari lembut, sebelum akhirnya mulai menggelegak menuju klimaks, saat semua peralatan seperti drum, biola, gitar elektrik, dan keyboard mulai dimainkan.

Dua nomor cantik tersebut sungguh masih menempatkan Kitaro sebagai musisi dunia terdepan. Lelaki gondrong itu tak latah mencampuradukkan berbagai instrumen yang aneh-aneh. Rasanya, Kitaro tahu betul bagaimana mengolah musiknya yang berbasis musik tradisi Jepang menjadi komposisi yang bisa dinikmati oleh seluruh umat manusia. Idiom musik barat dari gitar, biola, dan keyboard tidak lantas menjajah musik etnik Jepang yang diusung Kitaro sejak mengawali solo karier pada tahun 1977.

Nama Kitaro yang diberikan kepadanya oleh teman-temannya dari tokoh film kartun Jepang, Kitaro, pun langsung mengukir namanya melalui dua album pertamanya Ten Kai dan From the Full Moon Story. Itulah tonggak awal kedatangan Kitaro di ranah musik dunia. Namanya kian berkibar saat dirinya membuat theme song untuk seri film NHK Silk Road.

Seusai lagu “Caravan” serta permainan perkusi Kitaro dan pemain drum, pria kelahiran Toyohashi, Prefektur Aichi, Jepang, 4 Februari 1953, itu membawakan “Free Flight”. Komposisi ini menawarkan keluasan suasana, diperkuat dengan permainan tata lampu yang indah. Kitaro tampaknya paham betul dengan tuntutan penonton. Pada usianya yang tidak muda lagi, Kitaro tetap memiliki kesadaran untuk memberikan sajian, bukan saja permainan musiknya yang ekspresif, melainkan dia juga mengeksplorasi gerak tubuhnya sesuai suasana yang dibangun melalui musiknya. Berkali-kali tangan kirinya membentuk gerak seperti ombak, kadang mirip kepak sayap burung, kadang dengan ekspresif dirinya memimpin tempo para penggawa musiknya di panggung.

Pertunjukan pun kian terasa mendaki saat Kitaro menyajikan “Sky and Ocean”, langit dan laut. Pria yang kala SMA menyukai musik soul dan rhythm and blues itu mulai menawarkan suasana mencekam di intro lagu, lalu ia pun memukul-mukul taiko secara ritmis sambil berteriak panjang. Koda lagu ini benar-benar mencapai klimaks yang menggetarkan lewat bunyi taiko yang ritmis digenapi teriakan panjang penuh tenaga.

Tentu saja, yang ditunggu-tunggu oleh penonton yang memenuhi tiga perempat bangku di JCC itu adalah lagu “Matsuri”. Melodinya yang manis membuat lagu ini di awal pemunculannya pada tahun 1990 langsung diterima oleh penikmat musik Indonesia. Terlebih, kala itu stasiun televisi swasta pertama Indonesia, RCTI, nyaris tiap hari memutar klip video lagu “Matsuri”.

Menjelang lagu terakhir, ia tak lupa mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Indonesia yang telah membantu Jepang setelah negeri itu dihantam gempa dan tsunami. Meski usia Kitaro telah 58 tahun, tetapi rasanya tidak ada yang berubah pada penampilan dirinya ataupun sambutan penonton Jakarta seperti kala menyambutnya 15 tahun yang lalu. Dalam suasana syahdu, Kitaro membuka lagu pungkasan “The Light of Spirit” dengan tiupan harmonika. Pertunjukan selama satu setengah jam itu pun berakhir dengan hikmat. Usia senja ternyata tak berarti apa-apa bagi Kitaro. Gairahnya dalam bermusik dan memberikan keindahan bagi kehidupan membuatnya tetap bertenaga dan dicintai oleh penggemarnya.

Sekolah Jangan Coba-coba Dongkrak Nilai!

Kelulusan siswa SMA/SMK sederajat mulai tahun ini merupakan gabungan dari nilai ujian nasional dan ujian sekolah dengan perbandingan bobot 60:40. Jika ada tindakan curang dengan mendongkrak nilai ujian sekolah, maka sekolah yang melakukan hal tersebut akan dikenai sanksi.

“Nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan masuk daftar hitam,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh seusai melakukan inspeksi mendadak ke Percetakan Balai Pustaka, Sabtu (9/4/2011) di Pulo Gadung, Jakarta.

Selain melihat hasil ujian nasional (UN), kelulusan siswa mulai tahun ini juga diberikan dengan memerhatikan nilai ujian sekolah serta nilai rata-rata rapor semester III, IV, dan V.

Titik rawan

Nuh mengatakan, percetakan merupakan salah satu titik rawan kebocoran soal UN. Untuk mengantisipasi kemungkinan hal itu, pada setiap soal telah dibubuhkan kode khusus yang hanya diketahui orang-orang tertentu dari Kementerian Pendidikan Nasional, pengawas, dan percetakan.

“Jika ada soal yang bocor, maka hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus. Bisa diketahui pula soal yang ‘bocor’ itu soal asli atau bukan. Yang penting masyarakat jangan terjebak spekulasi bahwa ada soal bocor,” kata Nuh.

Selain antisipasi kebocoran soal, juga dilakukan antisipasi terhadap kecurangan melalui lima tipe soal dengan tingkat kesulitan sama. Dari 20 siswa dalam satu ruang kelas, hanya akan ada empat siswa yang mengerjakan soal yang sama.

“Ini untuk meningkatkan kredibilitas UN semata. Teknis pengaturan soal random,” kata Nuh.

Arifinto Resmi Mengundurkan Diri

Anggota Komisi V asal Fraksi PKS Arifinto, akhirnya mengundurkan diri secara resmi sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014, Senin (11/4/2011). Dalam keterangannya kepada wartawan di Gedung DPR, Arifinto menyatakan bahwa pengunduran diri yang diajukannya dilakukan atas kesadaran sendiri. Nama Arifinto menjadi perbincangan dalam tiga hari terakhir setelah tepergok membuka gambar-gambar tak senonoh melalui perangkat tabletnya saat sidang paripurna, Jumat (8/4/2011) pekan lalu.

“Dengan seluruh kesadaran diri saya, tanpa paksaan dari siapa pun, dan pihak mana pun, demi kehormatan diri dan partai saya, setelah pernyataan ini, saya akan segera mengajukan kepada partai saya untuk mundur dari jabatan sebagai anggota DPR RI,” kata Arifinto yang didampingi Sekretaris Fraksi PKS, Abdul Hakim.

Sebelum pernyataan mundur ini, Arifinto menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh anggota DP, kader, simpatisan dan konstituen PKS atas pemberitaan media tentang dirinya.

“Selaku perintis dan juga pendiri Partai Keadilan, saya merasa terpanggil untuk tampil secara bertanggung jawab demi keberlangsungan, kesinambungan dan nama baik serta kebesaran partai saya,” ungkapnya.

Arifinto berharap, keputusan yang diambilnya akan membawa kebaikan dan pembelajaran yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, partai, konstituen dan seluruh anggota DPR.

Rohman dan Rochim Berhasil Dipisahkan

Tim dokter Rumah Sakit Dokter Sutomo Surabaya berhasil memisahkan badan bayi kembar siam dempet pinggul, Rochman dan Rochim, Sabtu (9/4) malam. Tim dokter memutuskan alat kelamin lelaki yang jumlahnya hanya satu, yakni untuk Rochim.

Anggota tim dokter RSUD Sutomo, Purwadi, mengatakan bahwa operasi pemisahan Rochman Rochim selesai sekitar pukul 20.45 WIB. Menurutnya, operasi itu berjalan lebih cepat dari jadwal, yakni hanya 10 jam dari 30 jam yang diperkirakan.

“Struktur tubuh bayi kembar siam itu tidak hanya dempet tulang bagian pinggul belakang, namun juga pinggul samping,” kata Purwadi.

Mengenai keputusan tim dokter memberikan alat kelamin kepada Rochim, Purwadi menambahkan, karena saluran kencing serta pembuluh darah pada penis itu lebih mengarah ke Rochim ketimbang Rochman. Kondisi kedua bayi 19 bulan itu pun sudah stabil. Meski demikian, mereka masih mendapatkan perawatan intensif dari tim dokter

Membaca Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai Ilmu Pengetahuan

Umumnya, sebagian besar pendapat mengatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari dua aras pemikiran yang berbeda, yakni rasionalisme dan empirisme.  Mereka yang berpegang pada paham pertama (disebut kaum rasionalis) begitu mengagung-agungkan rasio dengan metode deduksinya sebagai sumber pengetahuan.  Berbeda dengan paham pertama ini, kaum empiris (istilah bagi mereka yang berpaham empirisme) menganggap bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman empiris dari seseorang yang kemudian ditarik dengan metode induksi sebagai sumber pengetahuan.

Meski demikian, tak dapat disangkal bahwa perbedaan kedua pemikiran di atas dapat memberikan ilmu sekaligus pengetahuan bagi manusia untuk memahami fenomena kehidupan dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing.  Dalam bingkai ini, bagaimana menempatkan sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan atau sumber pengetahuan?

Setidaknya makalah ini ditulis, tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan.  Untuk menunjukkan keshahihannya, pendekatan yang digunakan untuk mengalisis adalah menggunakan hakekat/filosifis ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat aspek ontologi dan epistimologi.

Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan Sebagai Ilmu Pengetahuan

Sosiologi maupun Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, tidak lain adalah seperangkat fakta sosial yang terkristal dalam bentuk teori/konsep/cara pandang yang digunakan sebagai tools atau pisau analisis untuk mencari dan menelusuri kebenaran-kebenaran yang nampak (realitas) maupun tidak nampak (peramalan) dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, dapat ditelusi secara hakekat/filosofis dari aspek epistimologi, ontologi, maupun aksiologi sebagai suatu pemikiran yang konprehensif untuk menelusuri, mencari, dan memperediksi gejala sosial yang terjadi di masyarakat.

JF. Ferrier merupakan seorang filsuf yang pertama kali melakukan pembedaan antara ontologi dan epistimologi pada tahun 1854 (Hunnex, 2004).  Ontologi menurutnya adalah bagaimana mempertanyakan apa realitas yang ada, sedangkan epistimologi merupakan teori pengetahuan yang menanyakan dengan apa manusia bisa mengetahui.  Adapun aksiologi lebih berbicara tentang sumber nilai, yang di dalamnya terkandung epistimologi dan ontologi secara bersamaan[1].

Dalam bingkai di atas, Kattsoff (2004) dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Filsafat” menguraikan empat paham/teori untuk mengungkapkan cara manusia bisa mengetahui suatu realitas (epistimologi).  Adapun keempat teori yang dimaksud, sebagai berikut:

(1).        Teori Koherensi (Coherence Theory), yakni suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.  Atau dengan kata lain, paham ini mengatakan bahwa derajat keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi derajat kebenaran, sedangkan keadaan saling berhubungan dengan semua kenyataan memberikan kebenaran mutlak.

(2).        Teori Korespondensi (Correspondence Theory), yakni suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya.  Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya.

(3).        Teori Empiris (Empirist Theory), yakni memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive) atau hipotetis, dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya ramalan-ramalan.

(4).        Teori Pragmatis (Pragmatism Theory), yakni proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita.

Berbeda dengan epistimologi, makna penting dari ontologi adalah pembedaannya antara pihak yang mengetahui dan hal yang diketahui (Hunnex, 2004).  Tentang hal ini, Kattsoff (2004) menegaskan bahwa ontologi merupakan jawaban pertanyaan mengenai hakekat kenyataan.  Untuk itu, Kattsoff merumuskan sejumlah pernyataan mengenai kenyataan, yang terdiri dari:

(1).        Kenyataan bersifat kealaman (naturalisme), yakni kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusunan kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa.  Dalam hal ini, kaum naturalisme berpendapat bahwa faktor-faktor penyusun segenap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi.

(2).        Kenyataan benda mati (materialisme), yakni kejadian-kejadian yang nampak dalam kehidupan manusia tersusun dari seperangkat materi.  Dalam hal ini, kaum materialisme lebih mendalam memaknai segala kejadian dibandingkan dengan kamu naturalisme. Meski demikian, seorang materialisme terkadang sependirian dengan seorang naturalisme.

(3).        Kenyataan bersifat kerohanian (idealisme), yakni kejadian-kejadian yang nampak dalam kehidupan manusia pada prinsipnya tidak terlepas dari jiwa atau roh sebagai dasar dari kehidupan manusia.  Dalam hal ini, kaum idealisme terpecah menjadi dua golongan, pertama, kaum spritualisme yang berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda derajatnya.  Kedua, kaum dualisme yang berpandangan bahwa yang terdalam ialah jiwa semesta yang berprinsip bahwa materi tidak berasal dari jiwa, meskipun materi berkesinambungan dengan jiwa.

(4).        Hylomorfisme, yakni kejadian-kejadian sebagai bentuk kenyataan yang ada disekeliling manusia terdiri dari bahan dan bentuk.  Dengan kata lain, terdapat esensi dan eksistensi dalam diri setiap manusia dalam membentuk kenyataan yang ada disekelilingnya.

(5).        Positivisme logis, yakni pandangan yang mendasarkan diri pada penalaran akal dan semuanya memakai perangkat fakta yang sama sebagai landasan penopang untuk menunjukkan kebenarannya.  Dengan demikian, ontologi positivisme logis meniadakan atau menolak segala bentuk yang berbau metafisika.

Selanjutnya, dari pembedaan epistimologi dan ontologi di atas, kemudian dapat digunakan sebagai alat (tools) atau kerangka analisis untuk memetakan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu pengetahuan untuk mengalisis gejala sosial yang hadir di masyarakat.  Jika ”aliran” dalam epistimologi dan ontologi saling disilangkan (dibuatkan matriks), maka akan terurai 20 sel sebagai perwujudan dari peta pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan aspek ontologi dan epistimologinya, yakni: naturalisme – koherensi, naturalisme – korespondensi, naturalisme – empiris, naturalisme – pragmatis, materialisme – koherensi, materialisme – korespondensi, materialisme – empiris, materialisme – pragmatisme, idealisme – koherensi, idealisme – korespondensi, idealisme – empiris, idealisme – pragmatisme, hylomorfisme  – koherensi, hylomorfisme – empiris, hylomorfisme – korespondensi, hylomorfisme – pragmatisme, positivisme logis – koherensi, positivisme logis – korespondensi, positivisme logis – empiris, dan positivisme logis – pragmatisme.

Meski demikian, perlu kembali ditekankan, bahwa pembuatan matriks di atas sekedar mempermudah pemetaan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu pengetahuan yang mana tidak mustahil banyaknya sel yang ada di dalam matriks menunjukkan jumlah pemetaan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan yang ada hingga saat ini dan sebaliknya.

Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan: Ilmu Pengetahuan yang Berdasar

Slattery (2003) dalam bukunya yang berjudul ”Key Ideas in Sociology” kembali menegaskan bahwa sosiologi sebagai displin ilmu pengetahuan, dapat dicermati dari beragam isu, meliputi: ketertiban sosial dan perubahan, kekuasaan dan penguasaan sosial, ketidakmerataan dan stratifikasi sosial.

Dari semua itu, Slattery (2003), kemudian merangkumnya berdasarkan pandangan dari tokoh sosiologi, yakni: (1) Aguste Comte, sebagai “bapak” sosiologi peletak positivisme berpendapat bahwa sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada logika penalaran; (2)  F. Tonnies dengan konsep “gemmeinschaftgesselschaff” untuk mengkaji “The Lass of Communty in Industrial Society”, yakni studi tentang komunitas dan sosiologi masyarakat kota; (3) Robert Michels mengkaji tentang sosiologi kekuasaan, khususnya elit penguasa sebagai fokus utama sosiologi modern; (4) George Herbert Mead, peletak dasar teori interaksi simbiolisme; dan (5) E. W. Teller mengembangkan konsep kunci tentang perdebatan sosiologi industri.

Berbeda dengan Slattery, Collins (1994) yang mencoba mendefinisikan teori-teori sosiologi ke dalam empat tradisi besar, yakni: (1) tradisi konflik, yang didasarkan argumen bahwa konflik yang terjadi dimasyarakat bukanlah hal yang sederhana , tetapi sangat luas dan berkembang dalam kehidupan masyarakat; (2) tradisi rasional atau utilitarian, yang berpandangan liberal (tapi lunak) dan rasional dari masing-masing induvidu; (3) tradisi durkheim, yang berpandangan makro dan mikro.  Pandangan makro lebih menekankan pada suatu fakta yang dibayangkan sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu.  Sementara itu, pandangan mikronya lebih menekankan pada mekanisme ritual-ritual sosial kelompok yang menghasilkan solidaritas; dan (4) tradisi mikro interaksi, yang berpandangan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan membedakan interaksionisme simbolik dan akar behaviorisme.

Merujuk dari dua pendapat di atas (baik Slattery maupun Collins), jika dianalisis dengan menggunakan kerangka ontologi dan epistimologi, maka sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi dalam mennguraikan dan menjelaskan gejala sosial yang terjadi di masyarakat.  Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua tradisi atau teori sosiologi yang ada mengisi ruang sel-sel yang ada.

Berdasarkan bacaan penulis dari tulisan Slaterry (2003) dan Collins (1994), pemetaan pemikiran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dapat dibagi ke dalam delapan kategori, yakni: (1) Naturalisme – Koherensi, meliputi: teori Gemmeinschaft dan Gesselschaff oleh F. Tonnie; (2) Naturalisme – Korespondensi, meliputi: tradisi Durkheim tentang pandangan makronya, yakni kondisi eksternal (alam) mempengaruhi individu; (3) Naturalisme – Empiris, meliputi: teori-teori ekologi; (4) Materialisme – Koherensi, meliputi: tradisi konflik atau teori kelas sosial, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia; (5) Materialisme – Empiris, meliputi: teori-teori sosial hijau (Green Social Theory); (6) Idealisme – Korespondensi, meliputi: tradisi mikro interaksi dan teori interaksi simbiolik; (7) Positivisme logis – Koherensi, meliputi: Weber, fenomenologi, strukturalisme, dan neo-fungsionalisme; dan  (8) Positivisme logis – Korespondensi, meliputi: Auguste Comte, tradisi Durkheim tentang pandangan mikronya, tradisi rasional (teori pertukaran, teori pengambilan keputusan rasional), behaviorisme, modernisasi.

Jika uraian di atas, telah memberikan gambaran kepada kita perihal sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar, lalu bagaimanakah dengan sosiologi pedesaan itu sendiri dapat dikatakan ilmu pengetahuan?

Seperti halnya dengan analisis sebelumnya, sosiologi pedesaan dikatakan sebagai ilmu pengetahuan apabila secara aspek ontologi dan epistimologi mampu menguraikan kenyataan sebagai kebenaran untuk memahami gejala sosial di masyarakat.  Untuk menelusuri ini, penulis merujuk buku ”Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1)” dimana Prof. Dr. Sajogyo dan Prof. Pujiwati Sajogyo (alm.) sebagai penyunting.  Adapun dasar rujukan ini diambil, sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Sajogyo dalam bukunya yang berjudul ”Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji)”:

…studi sarjana Sarjana 4 tahun di IPB (1971-1974) yang disertai ukuran bobot SKS dan dua “semester” dalam setahun, terjadilah perkembangan baru dimana saya memilih menyusun suatu “kumpulan bacaan” berisi topik-topik sosiologi yang pernah ditulis sejumlah peneliti sosiologi/antropologi/penyuluh pertanian dan pernah diterbitkan di buku atau majalah…

Dalam buku kumpulan bacaan tersebut, berisi tujuh bab yang membicarakan tentang pola-pola kebudayaan, proses-proses sosial, lembaga kemasyarakatan, grup sosial, organisasi sosial, sistem status dan pelapisan masyarakat, dan pola hubungan antarsuku bangsa.  Meski tidak membaca dan menganalisis secara keseluruhan kumpulan bacaan sosiologi pedesaan yang disunting oleh Prof. Dr. Sajogyo dan Prof. Pujiwati Sajogyo, akan tetapi tulisan-tulisan yang disajikan pada buku tersebut, memberikan gambaran kepada kita perihal sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan yang syarat dengan ontologi dan epistimologinya.

Berangkat dari analisis terhadap beberapa bacaan yang penulis lakukan berdasarkan aspek ontologi dan epistimologi, maka pemetaan pemikiran dalam sosiologi pedesaan dapat dibedakan ke dalam 7 kategori, yakni: pertama, naturalisme – empiris, sebagaimana diuraikan dalam tulisan berjudul ”Timbulnya “Desa Jawa” dari masyarakat transmigrasi spontan”; kedua, materialisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yang berjudul ”Ciri-ciri penghidupan masyarakat pedesaan di Indonesia (bagian konflik & persaingan)”, ”Mengembalikan keberadaan gerakan masyarakat”, dan ”Kerjasama dan struktur masyarakat di Desa Cibodas”; ketiga, materialisme – korespondensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ”Mahasiswa dan Keluarganya”.

Keempat, idealisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yang berjudul ”Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia”; kelima, idealisme – korespondensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ”Sistem budaya Bugis – Makassar” dan “Ciri-ciri penghidupan masyarakat pedesaan di Indonesia”; keenam, positivisme logis – koherensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ” Pola perdagangan dan keuangan dalam masyarakat tani di Jawa”; dan ketujuh, positivisme logis – korespondensi, dapat dilihat pada tulisan berjudul ” Proses pembaharuan antar pola kebudayaan” (lihat Tabel 3).

Membandingkan Tradisi Sosiologi Barat dan Tradisi Sosiologi Asia

Dari uraian panjang di atas, penulis sangat sadari bahwa tulisan yang mencoba menguraikan peta pemikiran sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan (merujuk tiga referensi) masihlah sangat minim.  Oleh karena itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk membandingkan dua tradisi sosiologi (Barat versus Asia) yang berkembangan saat ini.

Upaya ini dirasa sangat penting karena belum terdapat satu kajian yang mendalam perihal tradisi sosiologi yang berkembang di Asia, khususnya di Indonesia.  Dengan kata lain, kajian yang mendalam tersebut dimaksudkan untuk membangun tradisi baru tentang ”Sosiologi Indonesia” yang tentunya berangkat dari fenomena masyarakat Indonesia itu sendiri.  Hal ini disadari harena tradisi sosiologi yang berkembang di Indonesia masih didominasi oleh tradisi sosiologi barat dengan beragam perspektifnya.

Referensi

Collins, R., Four sociological traditions, New York and Oxford: Oxford University Press,1994.

Hunnex, MD., Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematis, Bandung: Teraju, 2004.

Kattsoff, LO., Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.

Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo [penyunting], Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.

Sajogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji), Yogyakarta-Bogor: SAINS, CINDERALAS, Sekretariat Bina Desa Sadajiwa, 2006.

Slattery, M., Key ideas in sociology, Cheltenham: Nelson Thornes Ltd., 2003.


[1] Berkaitan dengan aksiologi, Kattsoff (2004) mengatakan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki kakekat nilai atau biasa disebut filsafat nilai.

Teori dan Ragam Tipe Teori Sosiologi

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarahnya telah terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau fenomena sosial yang hadir dalam kehidupan masyarakat kita.  Hal ini ditandai dengan keberhasilan sosiologi sebagai cabang ilmu, yang tampil ditengah-tengah persaingan pengaruh antara psikologi dan filsafat untuk membedah fenomena sosial.  Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sosiologi belum seutuhnya mampu melepaskan pengaruh dengan dua cabang ilmu yang telah disebutkan sebelumnya (Ritzer, 2004).

Dalam tugas sebelumnya telah diuraikan, bahwa syarat terpenting dari ilmu pengetahuan adalah mampu membuka atau mempertanyakan realitas yang ada (ontologi) dan mengetahui mengapa realitas itu terjadi (epistimologi).  Dengan mempertanyakan kejadian atau fenomena sosial (ontologi) dan mengetahui mengapa fenomena sosial tersebut terjadi (epistimologi), maka sosiologi telah membuktikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan sebagaimana cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Sebagai ilmu pengetahuan, tentunya sosiologi mempunyai seperangkat teori untuk membuka tabir atas realitas sosial yang terjadi dan memepertanyakan mengapa realitas sosial itu terjadi.  Beragam teori pun hadir dengan latar belakang paradigma yang berbeda-beda.  Dalam kaitannya dengan itu, kita mengenal beragam teori dalam sosiologi, seperti: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori tindakan sosial, dan lain-lain.  Pertanyaannya kemudian adalah (1) apakah yang dimaksud dengan teori itu? (2) bagaimana proses pembentukan teori dalam sosiologi? dan (3) bagaimana landasan kategorisasi atau pemetaan teori-teori dalam sosiologi?

Pembentukan Teori dan Defenisi Teori Sosiologi

Sebelum menjawab pertanyaan pertama dalam tulisan ini, alangkah baiknya kita terlebih dahulu memahami bagaimana proses pembentukan suatu teori.  Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari beberapa komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang tersusun ini merupakan komponen ilmu yang hakiki.  Adapun komponen yang dimaksud, yakni: fenomena, konsep, fakta, dan teori.  Jika dianalisis lebih lanjut bahwa ketiga komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya membentuk teori merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang lahir akan terus dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab fenomena yang sesungguhnya.

Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-konsep.  Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena.  Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa yang dinamakan variabel.  Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.  Jadi variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk mengetahui fenomena yang hadir.

Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya.  Keterhubungan antar konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta.  Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan fakta-fakta yang lainnya.  Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori.  Atau dengan kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomen-fenomena.

Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma, 2004) yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris.  Selanjutya Poloma (2004) menambahkan bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau variabel setepat-tepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah.  Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit dasar teori sosiologi adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa pembentukan suatu teori sosiologi tidak lepas atau sangat terkait dengan cara berfikir (logika) yang dibangun oleh seorang ilmuwan sosial untuk menjawab pertanyaan atas suatu realita sosial.  Dalam ilmu filsafat, dikenal dua cara berfikir (logika) sebagai ”tipe ideal” (meminjam istilah Max Weber) untuk mengetahui suatu teori dalam menjawab realita atau fenomena sosial.  Tipe ideal yang dimaksud adalah bahwa pembentukan teori berangkat dari logika induktif (induktive logical) dan logika deduktif (deductive logical) yang mempunyai perbedaan satu sama lain.  Cara berfikir induktif berangkat dari fakta empiris yang diperoleh melalui pengamatan dalam membentuk suatu hukum atau teori sosiologi.  Ini berbeda dengan cara berfikir deduktif yang menempatkan hukum atau teori sosiologi sebagai untuk memprediksi dan mengeksplanasi kejadian atau fenomena sosial.  Meski demikian, antara fakta yang ada dan prediksi maupun eksplanasi mempunyai keterhubungan dalam membuka ”tabir” atas kejadian atau fenomena sosial.

Tipe ideal sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 dapat dilacak diawal-awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.  Sebagai Bapak Sosiologi, Aguste Comte dengan teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tingkatan (tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik) yang berangkat dari ”filasafat positif” (Ritzer dan Goodman, 2003) merupakan pembentukan teori yang didasari atas deduktive logical, dimana mengembangkan fisika sosial sebagaimana model ilmu-ilmu pasti atau ”hard science”.

Pendapat ini, kemudian dibantah oleh Durkheim yang mana mentikberatkan sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada fakta sosial (empirisme).  Berangkat dari penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial, Durkheim kembali menegaskan bahwa fakta sosial menurutnya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi sasaran penyeledikan filsafat.  Atau dengan kata lain, dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari dalam sosiologi, berarti menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin empiris dan berdiri sendiri dari pengaruh filsafat (Ritzer, 2004).

Pemetaan Tipe Teori dalam Sosiologi

Memetakan tipe teori dalam sosiologi bukanlah hal yang mudah.  Perbedaan cara befikir akan menentukan posisi teori sosiologi ke dalam tipe tertentu.  Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dua sosiolog barat, yakni Randal Collins (1988) dan William Skidmore (1979).

Dalam bukunya yang berjudul ”Theoretical Sociology”, Collins mencoba memetakan teori sosiologi ke dalam tiga aras, yakni makro, meso, dan mikro.  Menurutnya teori sosiologi aras makro merupakan teori yang topik kajiannya menempatkan waktu dan ruang mempunyai pengaruh terhadap manusia.   Unit analisis dari sosiologi makro ini adalah masyarakat sebagai suatu sistem sosial.  Adapun yang dimaksud Collins dalam teori sosiologi makro ini adalah teori evolusi, teori sistem, teori fungsionalis, teori ekonomi politik, teori konflik, dan perubahan sosial.

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori sosiologi aras meso muncul karena pertanyaan mendasar tentang hubungan timbang balik antara mikro dan makro teori.  Dalam hal ini, teori sosiologi pada aras meso berusaha menjambatani antar teori makro dan mikro terutama yang berupa kontroversi.  Adapun yang termasuk ke dalam teori ini adalah teori jaringan yang mana berusaha menghubungkan teori makro dan mikro melalui situasi dan struktur sosial dibandingkan dengan ciri-ciri individu.  Selain itu, teori sosiologi yang masuk pada aras meso, meliputi: teori jaringan yang menjelaskan efek jaringan dari tindakan individu dan kepecayaannya, jaringan dan ekonomi, dan jaringan kekuasaan.

Sementara itu, teori sosiologi aras mikro merupakan teori yang memfokuskan pada topik kajian ruang dan waktu dalam ukuran yang lebih kecil dimana individu dan interaksinya yang didasari oleh prilaku dan kesadaran.  Akan tetapi, Collins menambahkan bahwa unit mikro tidak memiliki batas yang jelas dengan mempertanyakan bagaimana keberadaan individu terhadap individu lain terhadap kelompoknya.  Adapun yang termasuk ke dalam teori sosiologi mikro ini adalah teori ritual interaksi (Durkheim dan Goffman), teori status sosial (Goffman), dan teori pertukaran, dan teori relasi sosial.

Pemetaan teori sosiologi yang diungkapkan oleh Collins (1988), berbeda jauh dengan apa yang dikemukakan oleh Skidmore (1979).  Menurut Skidmore bahwa tipe teori dalam sosiologi dapat dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni: teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif (perspective).  Teori deduktif merupakan teori yang dibangun dari tujuan yang bersifat umum tentang suatu subyek atau fenomena atau pertistiwa yang meliputi hukum-hukum.  Skidmore memberikan contoh bahwa setiap kejadian atau peristiwa X senantiasa mempengaruhi terjadinya kejadian atau peristiwa Y (sebab-akibat) atau sebaliknya.

Tentunya kejadian atau peristiwa X maupun Y yang merupakan sebab-akibat tidak terjadi begitu saja, melainkan didasari oleh hukum atau teori yang ada sebelumnya.  Teori ini, kemudian yang ditunkan dalam bentuk tujuan umum tentang subyek kumpulan hukum-hukum (proposisi-proposisi).  Dari kumpulan hukum-hukum ini, kemudian menghasilkan apa yang dinamakan hipotesa.

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori berpola (pattern theory) tidak menekankan pada pemikiran teori deduktif, dimana dimensi vertikal tidak menjadi penting, melainkan logikanya didasarkan atas ”lateral”.  Penekanan atas logika tersebut, mendorong teori ini lebig bertujuan menghubungkan pemikiran secara teori dengan realita yang ada.  Atau dengan kata lain, teori ini lebih berdasarkan atas fakta sosial atau empirisme dalam membangun teorinya.  Skidmore (1979) memberikan contoh teori ego dan super-ego yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.

Adapun tipe teori yang terakhir menurut Skidmore adalah perspektif.  Meski penjelasan Skidmore tidak terlalu jelas, akan tetapi yang menarik untuk dikemukakan dalam tipe ini adalah bahwa pesepektif sesungguhnya terpisah dari teori berpola (pattren theory) dan teori deduktif (deductive theory), yang mana bukan dari jenis subyeknya, melainkan lebih dari derajat subyek.  Selanjutnya menurut Skidmore bahwa perspektif tidak lain merupakan kumpulan ide-ide yang penting sebagai pembentuk teori.  Dalam hal ini, Skidmore (1979) memberikan contoh teori simbolik-interaksi yang dapat dikatakan sebagai perspektif.

Merujuk pembagian tipe yang dikemukakan oleh Skidmore di atas, penulis kemudian mencoba membedakan tiga tipe teori sosiologi menurut Skidmore merujuk dari unit analisis, sifat logika yang dibangun, dan aras teori.

Berangkat dari dua pendapat di atas (Skidmore, 1979 dan Collins, 1988), pertanyaan kemudian adalah bagaimana posisi penulis dalam pemetaan tipe teori dalam sosiologi?  Menjawab pertanyaan ini, penulis sangat sadari bukanlah pekerjaan yang mudah karena pemetaan teori harus didasarkan atas argumentasi yang kuat untuk meletakkan suatu teori sosiologi dalam tipe tertentu.  Meski demikian, dua pendapat sosiolog sebelumnya ditambah dengan Ritzer (2005) dengan paradigma terpadunya yang membagi teori ke dalam 4 kelompok besar (makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif) memberikan gambaran kepada penulis untuk mencoba melakukan pemetaan tipe teori sosiologi.

Pemetaan tipe teori yang akan dilakukan ini, tidak serta ”meninggalkan” pendapat sebelumnya, melainkan mencoba mengelaborasinya ke dalam pembagian tipe yang mudah dipahami.  Adapun pembagian tipe teori sosiologi yang penulis maksud adalah menggambungkan pendapat yang dikemukakan oleh Collins (1988), Skidmore (1979), dan tipe ideal dalam pembentukan teori.  Dengan menggunakan sistem kuadran, penulis menempatkan dua garis yang saling menyilang (X dan Y) sebagai garis kontinum yang membedakan antara aras teori dengan tipe ideal pembentukan teori.

Aras teori berpijak pada pendapat Collins, yang kemudian penulis reduksi menjadi dua aras, yakni makro dan mikro.  Alasan mengapa teori aras meso yang dikemukakan Collins, tidak penulis masukkan karena didasarkan atas dua argumentasi, yakni: pertama, teori pada aras meso sebagaimana dikemukakan Collins (1988) hanya menekankan perbedaan unit analisis antara makro dan mikro.  Akan tetapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, pemikiran teori aras meso tetap berpijak pada pemikiran yang bersumber dari induktif dan deduktif; dan kedua, meminjam pembagian sosiologi oleh Sanderson (2003) yang mengemukakan bahwa teori sosiologi pada prinsipnya dikategorikan menjadi dua bagian sesuai dengan kajian analitiknya.  Adapun kategori yang dimaksud, yaitu: sosiologi makrodan sosiologi mikro[1].  Dengan demikian, teori aras makro-mikro merupakan satu garis kontinum yang saling berhubungan (garis sumbu X).

Sementara itu, untuk tipe ideal pembentukan teori yang penulis maksud adalah cara berfikir filsafat yang bersumber dari dua, yakni deduktif dan induktif.  Pernyataan ini senada dengan pendapat Skidmore yang membedakan tipe teori menjadi 3 bagian, yakni teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif (perspective).  Dalam pembuatan tipe teori sosiologi ini, teori perspektif yang dikemukakan Skidmore, tidak penulis masukkan karena cenderung sudah mewakili dua teori sebelumnya.  Dengan demikian, deduktive theory (cara berfikir deduktif) dan pattern theory (cara berfikir induktif) merupakan satu garis kontinum atau garis sumbu Y.

Berangkat dari pemetaan teori yang disajikan di atas, dengan jelas terlihat bahwa tipe teori sosiologi dapat dibedakan ke dalam 4 bagian, yakni:

(1).       Mikro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya.  Dalam tipe ini, satuan analisisnya adalah individu dan kelompok sosial.

(2).       Mikro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari fakta sosial (emperisme).  Adapun tipe analisisnya adalah individu dan kelompok sosial;

(3).       Makro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya.  Satuan analisis dari tipe teori ini adalah masyarakat sebagai sistem sosial dan dapat pula organisasi sosial; dan

(4).       Makro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari fakta sosial (emperisme).  Satuan analisisnya adalah masyarakat atau sistem sosial.

Dengan demikian, beragam teori sosiologi yang ada dapat dimasukkan ke dalam empat pembagian teori yang telah disebutkan sebelumnya.  Atau dengan kata lain, terdapat empat sel dalam matriks yang akan diisi sesuai dengan pembagian tipe teori sosiologi yang telah disebutkan sebelumnya. Perkembangan teori sosiologi hingga kini banyak tergolong ke dalam tipe teori makro-induktif dan mikro-induktif dibandingkan dengan teori makro-deduktif dan mikro-deduktif.  Bukti ini semakin menunjukkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berangkat dari fakta sosial (empirisme) yang berbeda jauh dengan psikologi sosial dan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.

Referensi

Collins, R., Theoretical Sociology, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Prbl., 1988.

Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.

Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Skidmore, W., Theoretical Thinking in Sociology, Cambridge: Cambridge University Press, 1979.

Soetrisno dan Hanafie, SR., Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, 2007.

Stinchcombe, A. L., Constructing Social Theories, New York: Harcourt, Brance and World, Inc., 1986.

Turner, J. H., The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998.


[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar.  Ilmu ini memusatkan berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya, seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan bentuk sistem keagamaannya.  Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.  Sedangkan sosiologi mikro adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.

FENOMENA CYBERPORN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

Abstrak

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat diimbangi dengan perkembangan teknologi yang telah melintasi batas negara-negara di dunia merupakan suatu pencapaian dan pemutakhiran dalam globalisasi keilmuan. Sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan manusia dengan akal dan budi yang dimiliki mampu menggenggam dunia ini dengan segala isinya dalam satu genggaman rapat, yang di satu sisi dengan genggamannya mampu mengupayakan pemanfaatan ilmu dan teknologi untuk tujuan kemaslahatan dan di sisi lain dengan genggamannya mampu meremukredamkan peradaban yang telah dimiliki manusia ribuan tahun lamanya.
Internet adalah salah satu bukti perkembangan ilmu dan teknologi yang telah mampu dibuktikan dengan menjamurnya teknologi ini di seluruh dunia. Teknologi informasi dan komputer ini telah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai teknologi yang berbasis mayantara, sehingga mampu diakses secara transnasional melintasi batas suatu negara, sehingga dapat mempermudah arus informasi dan komunikasi yang dapat melahirkan keuntungan-keuntungan dengan meminimalisir pengorbanan. Banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk kepentingan-kepentingan bisnis publik (e-commerce), bahkan pemanfaatannya sudah mencapai kebutuhan privat dan menimbulkan ketergantungan teknologi tersendiri bagi pemakainya.
Kenyataan ini membawa implikasi yang lebih jauh dan serius, karena akan semakin marak bermunculan modus-modus baru dalam bertransaksi dan berkomunikasi. Cyberporn, atau yang biasa dikenal dengan cybersex/orgasmaya adalah salah satunya. Pornografi di internet tidak dapat dihindari karena arus informasi dan komunikasi menggiring manusia pada suatu ruang atau dunia baru yang merupakan suatu alternatif pemuasan kebutuhan yang biasa disebut dengan cyberspace.

(Keywords: cyberporn, cyberspace, pornografi, kebijakan penal, kebijakan non penal, sosiologi hokum, hokum)

I. PENDAHULUAN
Keberadaan internet semakin pesat dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Di setiap daerah, terlebih di kota-kota besar, sangat menjamur warung internet (warnet) yang tersebar, tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi juga di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Terlebih saat ini, dengan adanya persaingan pasar sempurna, pebisnis warnet menawarkan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi kantong orang dewasa sampai dengan anak-anak. Tidak hanya itu, penawaran modem dan fasilitas pemasangan internet, baik kabel maupun tanpa kabel sudah memasuki segala lini di masyarakat. Setiap jasa telekomunikasi melengkapi teknologinya dengan fasilitas ini. Dengan harga pra bayar maupun pasca bayar yang tidak menguras kantong, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi ini dengan harga yang terjangkau. Di rumah, di sekolah, di tempat-tempat umum dapat menggunakan teknologi ini, bahkan dengan penawaran pemakaian secara unlimited. Di tempat-tempt publik pun, saat ini sudah banyak yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot area, sehingga tanpa mengeluarkan sepeserpun uang, dapat mengakses teknologi internet dengan mudah.
Kemudahan lain dapat diperoleh dengan fasilitas kemudahan dalam penggunaan internet. Cukup dengan mengetik serangkaian kata melalui search engine (keyword) yang diinginkan, maka akan diperoleh dengan mudah data dan informasi yang disajikan oleh berbagai macam situs. Bahkan seringkali, kesalahan dalam menulis/mengetikkan keyword, dapat memunculkan data, gambar, atau informasi yang tidak diduga, bahkan tidak sedang dicari dan berbau pornografi. Ini karena internet memang menyuguhkan berbagai hal sehubungan dengan kebutuhan informasi dan komunikasi, baik yang bersifat publik mapun privat.
Perkembangan di bidang teknologi informasi yang semakin pesat saat ini merupakan jawaban atas makin komplesknya kebutuhan manusia akan informasi dan komunikasi Jaringan komunikasi dan informasi dunia atau dikenal juga dengan teknologi cyberspace, berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Internet adalah media penyedia informasi dan kegiatan komunitas komersial terbesar dan tumbuh berkembang dengan sangat pesat.
Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm. . Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan, sebagaimana yang dimyatakan oleh Neill Barrett dan Mark D. Rasch bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, di mana 80% gambar di internet adalah gambar porno.
Cyberporn atau cybersex merupakan salah satu dari sisi negatif dari adanya teknologi informasi ini. Hal ini disebabkan sex merupakan suatu komoditi yang dapat membawa profit cukup besar dalam bisnis, terlebih melalui jasa e-commerce. Pornografi yang merambah sampai ke dunia maya dapat dengan mudah diakses oleh siapapun, tanpa batasan usia, kelamin, tingkat pendidikan, maupun stratifikasi sosial. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi sex secara online, melahirkan kepuasan dan keprivatan tersendiri, yang seringkali didalilkan tidak banyak merugikan, karena keresahan dan efek negatifnya tidak secara langsung dapat dirasakan.
Berdasarkan kenyataan inilah, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini dari sudut pandang ilmu sosiologi hukum, karena keberadaan cyberporn di satu sisi dijadikan pembenaran sebagai sarana kebutuhan yang relatif responsif dengan kebutuhan jaman dan di sisi lain memberikan dampak yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga tuntutan akan aturan hukum menjadi ultimum remedium atas kebijakan penal negara untuk memberikan ganjaran dengan sanksi hukumnya, dan sekaligus sebagai warning atau penentu norma sebagai kebijakan non penalnya. Permasalahan ini akan penulis bahas lebih lanjut dalam tulisan yang berjudul Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum.

II. PERMASALAHAN
Dalam tulisan ini, pokok permasalahan yang selanjutnya akan dipaparkan dalam pembahasan adalah :
1. Bagaimanakah fenomena cyberporn di Indonesia dan penegakan hukumnya?
2. Bagaimanakah fenomena cyberporn dalam perspektif sosiologi hukum ?

III. PEMBAHASAN
A. Fenomena Cyberporn
Perkembangan teknologi telah memberikan ruang dan peluang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat. Internet adalah salah satu sarana/media yang sering digunakan untuk melakukan transaksi dagang, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran berita dan informasi, di sisi lain dimanfaatkan pula untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya, bahkan dalam transaksi seks.
Menurut Dimitri Mahayana internet merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan) yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.
Secara etimologi, pornografi berasal dari dua suku kata, yaitu pornos dan grafi. Pornos, artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan di masyarakat.

Pornografi bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Bahkan dalam lingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali. Pornografi tradisional biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape. Kehadiran Internet dan cyberspace memberi warna tersendiri dalam persoalan pornografi.
Pornografi di internet berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences yang terdapat dalam Title 3, article 9. Setidak-tidaknya ada empat pendapat yang berkaitan dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen, yaitu:
“Pornography is bad because it is violence and oppression (Catharine Mackinnon) Pornography must be tolerated for free speech reasons (Nadine Strossen) Pornography is good, liberating, allows us to grow as sexual beings (Wendy McElroy) Pornography is absolutely bad by religious commandement or other rule arising from a morality of prohition”.

Jaringan komunikasi global interaktif melalui fasilitas internet relay chat dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cybersex. Ada dua bentuk dari cybersex dalam ruang chatting, yaitu Computer mediated interactive masturbation in real time dan Computer mediated telling of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,
pornografi adalah : gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Berdasarkan pengertian pornografi yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan pornografi secara luas, dalam arti yang dipublikasikan melalui berbagai bentuk media komunikasi. Namun, secara khusus masalah pornografi melalui dunia maya terdapat dalam lex specialie-nya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
American Demographic Magazine yang menghitung jumlah situs porno dan jumlah halaman situs porno. Pada tahun 1997 terdapat 22.100 situs porno. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 280.000 dan pada tahun 2003 meningkat hamper empat kali lipatnya, yaitu menjadi 1,3 juta situs porno. Sedangkan, halaman situs porno di dunia pada tahun 1998 terdapat 14 juta dan meningkat tajam pada tahun 2003, yaitu menjadi 260 juta. Pada tahun 2008, data terakhir halaman situs porno di dunia telah mencapai 420 juta.
Kenyataan ini tidak dapat terelakkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Washington Times tahun 2000. Weiss menyatakan bahwa sex adalah topik no. 1 yang dicari di Internet. Studi lain yang dilakukan oleh MSNBC/Standford/Duquesne menyatakan bahwa 60% kunjungan internet adalah menuju ke situs sex (porno). Data ini disempurnakan oleh publikasi dari The Kaiser Family Foundation yang menyatakan bahwa 70% kunjungan pengguna Internet belasan tahun adalah menuju ke situs pornografi. Penelitian lain yang dikeluarkan oleh TopTenReviews.Com menyatakan bahwa sebenarnya dominasi pengunjung Internet di Amerika justru orang berumur 35-44 tahun (26%). Lengkapnya lihat dari gambar di bawah ini :

Age Prosentase (%)
18-24 13,61%
25-34 19,90%
35-44 25,50%
45-54 20,67%
55+ 20,32%

Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono dinyatakan bahwa setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta.
Penyebaran pornografi di dunia maya sangat berhubungan dengan industry pornografi yang melintasi batas antar negara. Amerika merupakan Negara penyumbang terbesar 89% situs pornografi di dunia. Diikuti oleh Jerman, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda menyusul di belakangnya. meskipun Amerika penyumbang situs porno terbesar di dunia, ternyata hanya menduduki urutan keempat dalam jumlah pendapatan (revenue) dari industri pornografi di dunia. Pemenangnya justru China yang diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang. Total pendapatan pertahun industri pornografi di dunia adalah sekitar 97 miliar USD, ini setara dengan total pendapatan perusahaan besar di Amerika yaitu: Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo!, Apple, Netflix and EarthLink. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya industri pornografi di dunia. Sedikit berkaitan ini, salah satu tulisan di CNET tahun 1999 menyebutkan bahwa: Pornografi online adalah produk ecommerce yang secara konsisten menduduki peringkat pertama dalam bisnis di Internet. Dari berbagai data tentang pornografi Internet diatas, yang cukup mencengangkan adalah bahwa ternyata penikmat dan penerima ekses negatif dari industri pornografi di Internet bukan negara-negara produsen, tapi justru negara-negara kecil dan berkembang sebagai konsumen. Kita bisa lihat dari tren request pencarian dengan tiga kata kunci, yaitu xxx, porn dan sex, semuanya dikuasai oleh negara kecil atau berkembang seperti Pakistan, Afrika Selatan, India, Bolivia, Turki, dan juga Indonesia.

Keyword : sex
1 Pakistan
2 India
3 Egypt
4 Turkey
5 Algeria
6 Morocco
7 Indonesia
8 Vietnam
9 Iran
10 Croatia

Menurut Dr. Mary Anne Layden seorang peneliti dari University of Pennsylvania, cyberporn membawa dampak yang tidak baik, yaitu :, meningkatnya kriminalitas. Ia mengatakan , ”Saya telah memberikan pendampingan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Dan saya belum pernah menangani 1 kasus pun yang tidak diakibatkan oleh Pornografi. Pornografi memicu agresifitas dan pada akhirnya memicu seseorang untuk melakukan perbuatan kriminal.”
Kedua, resiko terhadap psikologis dan pendidikan. Menurut VB Cline, seorang riserter masalah psikososial dan pornografi, mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : (1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu : peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu : kian menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu : Pecandu pornografi mulai mempraktekan. Ketiga, resiko kesehatan. Menurut Divisi Kesehatan ASA Indonesia Dewi Inong Irara, spesialis penyakit kulit dan kelamin, memaparkan resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS ) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Keempat, resiko kultural ( pergeseran nilai-nilai ). Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.

B. Penegakan Hukum Cyberporn di Indonesia
Untuk mencegah dan menanggulangi maraknya pengakses situs porno, maka hukum pidana dapat digunakan untuk sebagai alat meskipun hanya bersifat pengobatan simptomatik. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial dan keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai bagian dari politik kriminal.
Dalam KUHP, pornografi merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283. Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282 KUHP baik yang terdapat dalam ayat (1), (2) maupun (3) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;
b. membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;
c. dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh di dapat.
Di luar KUHP, negara telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianggap kurang memadai dan belum mampu memenuhi kebutuhan penegakan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna dengan nama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Selanjutnya, untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1), bahwa :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Selain itu, juga telah ada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 menetapkan Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Teknologi Telematika (ICT). di Indonesia yang tertuang dalam INPRES No. 6 Tahun 2001. Dalam INPRES tersebut dinyatakan bahwa warung internet (warnet) merupakan ujung tombak untuk mencapai tujuan yang diinginkan di samping warung telekomunikasi (wartel). Teknologi warung internet dimungkinkan untuk masuk ke desa-desa terpencil di pegunungan maupun di pantai asal ada infrastruktur telekomunikasi meskipun mungkin tidak sebaik di perkotaan.
Ini berarti teknologi informasi melalui internet telah merambah dan masuk ke daerah-daerah tanpa mampu dihindari. Di satu sisi, bermanfaat membuka cakrawala ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat di daerah. Namun, kemanfaatan ini apakah sudah sesuai dengan kemungkinan resiko dan efek negative yang mungkin timbul dengan keberadaan internet? Belum tentu. Selain menjadi ujung tombak dalam rangka pemberdayaan teknologi informasi dan telematika, warung internet juga merupakan ujung tombak bagi para penikmat situs-situs porno. Dalam konteks pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, pengusaha atau pemilik warnet menghadapi dilema. Dilema-dilema tersebut adalah:
a. situs porno merupakan daya tarik yang luar biasa dan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan bagi pengusaha ini merupakan icon keuntungan;
b. adanya larangan atau himbauan bagi penunjung untuk tidak mengakses situs porno akan menurunkan jumlah pengunjung;
c. untuk mengontrol pengguna internet agar tidak memasuki situs porno sangat sulit karena diperlukan biaya yang relative besar
d. pembatasan usia pengunjung warnet akan semakin mempersulit pemasaran yang akibat lebih jauh mengakibatkan gulung tikar usaha warnet;
e. tidak semua pengusaha atau pemilik warnet mempunyai kemampuan untuk memasang software yang mampu menyaring situs-situs mana yang boleh dibuka.
Kebijakan penal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, dalam penegakan hukumnya belum dapat berjalan dengan baik karena terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Ada banyaknya persepsi dalam memberikan penafsiran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tentang pornografi. Seringkali, penafsiran pornografi dan kesusilaan berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Di samping itu adalah kesulitan dari aparat keamanan untuk melacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar atau tulisan porno, krn locus delicte dari cyberporn adalah cyberspace itu sendiri. Diperlukan keahlian dan kemampuan berselancar di dunia maya untuk mengikuti modus cyberporn yang terus menerus berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telematika yang ada. Selain itu adalah keengganan hakim-hakim kita untuk mendobrak tradisi lama yang legism oriented dengan pendekatan baru yang mengedepankan searching for turth and justice.
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam setiap kebijakan penal, harus mampu diimbangi dan diminimalisir dengan kebijakan non penalnya, sehingga kebijakan penal dan non penal harus berjalan beriringan dan saling melengkapi, sehingga efektivitas penegakan hokum tidak mengalami stagnasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran dan penyaringan/ pemfilteran data dan informasi melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi dengan mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi. Di sisi lain, peran serta masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak negative pornografi dan upaya pencegahannya.
Kebijakan non penal dapat pula dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Walaupun di dalam praktiknya koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat tersebut karena di satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak hukum. Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga warnet-warnet yang mampu untuk itu) terdapat beberapa software yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka yang belum cukup umur.
Selain itu, dapat dilakukan pula dengan menggunakan pendekatan sosial budaya (berupa ikut campurnya mereka-mereka yang terlibat dalam bisnis layanan jasa internet) dan secara teknis atau techno prevention berupa penambahan software-software tertentu pada perangkat komputer yang digunakan untuk akses ke internet.

C. Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Sosiologi hokum memandang hokum sebagai bentuk perwujudan dari kehendak masyarakat. Karena pada dasarnya, hokum itu ada karena ada masyarakat. Ketika terbentuk suatu komunal yang bernama masyarakat, diperlukan aturan-aturan yang pada dasarnya dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur kehidupan kebersamaan mereka guna mencapai tujuan-tujuan. Keberadaan masyarakat hendaknya dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum.
Menurut Emille Durkheim, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”. Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial.
Secara sosiologi hukum makro, kenyataan (das sein) merupakan suatu realitas yang tidak dapat terpisahkan dari system social. Ini berarti, adanya kesinambungan dan kesatuan di antara bagian-bagian sebagai keseluruhan elemen di masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh M. Munandar Soelaeman, bahwa masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang salig berkaitan dan menyatu dalam kesinambungan. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dan setiap elemen dalam satu system social fungsional terhadap yang lain. Ini disebut dengan teori fungsionalisme structural, yang menjadi bagian teori dari paradigma fakta social.
Keberadaan cyberporn di Indonesia lengkap dengan teknologi informasi dan telematika yang menyertainya merupakan suatu realitas teknologi yang masuk ke Indonesia melalui kecanggihan cyberspace. Oleh karenannya, masyarakat Indonesia tidak dapat mengelakkannya karena merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak dapat membatasi diri dari pergaulan dunia dan menutup diri akan kebutuhan teknologi di jaman globalisasi ini.
Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik sendiri, dengan keunggulan nilai-nilai dan norma-norma yang secara menginternal menjadi satu kesatuan dari bagian masyarakat. Norma-norma dan pola nilai ini disebut dengan institutions atau biasa disebut dengan pranata. Dalam sosiologi modern, pranata social ini dipandang sebagai antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktifitas manusia dalam masyarakat. Pornografi adalah hal yang pada dasarnya melukai norma-norma di masyarakat Indonesia yang selama ini dipegang teguh. Oleh karena itulah, kebijakan penal yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan pornografi telah diundangkan. Das Sollen yang yang merupakan arah tujuan hokum yang bersifat abstrak dan harapan akan hokum yang seharusnya (ideal), masih menempatkan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri kekurangan dan kelemahan tentang substansi hukumnya, yang seringkali mengalami ketegangan (spannungsverhaltnis) karena banyak hal dalam substansi undang-undang yang tidak sejalan dengan kultur hukumnya, seperti ancaman hukuman yang sangat berbeda ketika Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE tentang pasal pornografi dibandingkan. Padahal keduanya merupakan undang-undang di luar KUHP yang memiliki fungsi sama sebagai lex specialis dalam permasalahan pornografi.
Namun, menurut teori fungsionalisme structural, keberadaan cyberporn menguji kekuatan nilai dan norma yang selama ini membingkai keteraturan di dalam masyarakat sekaligus menjadi skala dan parameter, sejauhmanakah cyberporn mampu menggilas habis kekuatan nilai dan norma yang selama ini dipertahankan di masyarakat. Sistem social yang disangga oleh kekuatan nilai dan norma apakah akan runtuh sedemikian dahsyatnya dengan masuknya cyberporn. Karena menurut teori, masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan (equilibrium) karena di masyarakat telah dilengkapi dengan system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu sehingga masyarakat senantiasa seimbang. Semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Melihat fenomena cyberporn di Indonesia sebagaimana telah penulis jelaskan, tampak bahwa efek negative dari cyberporn telah mewabah dan sebagian telah merusak generasi, dari mulai anak-anak generasi muda dan bahkan sampai usia tua. Sedangkan pada kenyataannya, keberadaan internet telah masuk sampai ke daerah-daerah di pinggiran kota dan pedalaman. Terlebih Indonesia telah masuk dalam peringkat 10 besar pengguna internet yang memanfaatkan cyberporn dalam aktifitasnya di dunia maya. Ini berarti, banyak pranata yang telah ditinggalkan dan tergilas oleh keberadaan cyberporn. Nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat semakin terkikis, sehingga ukuran atau patokan yang mendasari nilai-nilai mengalami pergeseran, dari yang tidak baik, menjadi lumayan baik, atau bahkan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Demikian juga dengan patokan berperilaku yang mendasari norma-norma, menjadi semakin kabur.
Namun di sisi lain, keberadaan cyberporn telah melahirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pornografi, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 44 Tahun 2008. Walaupun sangat terlambat dan kurang reponsif akan perkembangan masyarakat dan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara fungsionalisme structural, keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Cyberporn atau pornografi di dunia maya telah menjadi bagian satu paket dengan masuknya teknologi informasi dan telematika internet ke Indonesia yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga dirasakan dampak negatifnya.
2. Penegakan hokum cyberporn dilakukan dengan dua kebijakan, yaitu kebijakan penal melalui peraturan perundang-undangan, yaitu diundangkan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dan kebijakan non penal melalui sosialisasi, pendidikan upaya-upaya preventif lainnya yang berfungsi mencegah dampak negative keberadaan cyberporn bagi masyarakat.
3. Keberadaan cyberporn secara sosiologis telah mempengaruhi efektivitas nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan sebagai pranata yang selama ini mengatur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi keterkikisan nilai-nilai yang pada akhirnya dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai di masyarakat. Oleh karena itu, secara fungsionalisme structural, kebijakan penanggulangan pidana secara penal dan non penal adalah bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, C.K., 1964, Law in the Making, New York: Oxford University Press.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Barrett, Neill, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, London, Kogan Page Ltd.

Blumen, Jonathan, 1995, Is Pornography Bad ? http://www.spectacle. org/Is_Pornography_Bad.html.

Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Friedman, Wolfgang, 1953, Legal Theory, London, Stevens and Sons,.

Hamman, Robin B., 1996, Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms, 30 September, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.com/Cyberorgasm.html.

Hamzah, Andi, 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, Bina Mulia,.

Hunt, Alan, 1978, The Sociological Movementin Law, London, Billing and Sons.

Mahayana, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung, Rosda.
Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Perkasa.
Perdana, Ricky, 2009, Pornografi di Indonesia Semakin Mengganas, http://riky-perdana.blogspot.com/2009/01/pornografi-di-indonesia-semakin.html

Raharjo, Agus dan Sunaryo, 2002, Cyberporn (Studi Tentang Aspek Hukum Pidana Pornografi Di Internet, Pencegahan dan Penanggulangannya), Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti.
Ritzer, George, 1980, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Allyn and Bacon Inc.
Soelaeman, M. Munandar, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.