Category Archives: artikel

Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah Sosial (Social Problem Solving)

Aktor sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat individu merupakan “aktor sosial” mampu mengambil
(social actor). Salah satu kemampuan yang dituntut untuk menjadi keputusan seorang aktor sosial yang baik adalah mengambil keputusan secara secara nalar atau well informed and reasoned decision making (Banks, bernalar. 1978). Kemampuan tersebut akan tercermin melalui proses
pembelajaran yang memungkinkan individu terlibat dalam berbagai
Keterampilan
Pemecahan bentuk kegiatan pemecahan masalah sosial baik secara individual maupun kolektif.

Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah sosial. Dengan strategi itu pembelajaran diskenariokan untuk melibatkan peserta didik dalam praktek pemecahan masalah sosial,
khususnya yang berkenaan dengan berbagai aspek kebijakan publik secara kolektif. Sebagai contoh selanjutnya akan dipaparkan strategi pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial yang terkait pada status, peran, dan tanggung jawab warga negara dalam konteks kebijakan publik.

Contoh ini dipilih karena masalah kebijakan publik merupakan isu sosial yang bersifat generik yang dapat didekati secara interdisipliner. Oleh karena itu kerangka konseptual model ini dapat
digunakan dalam pembelajaran untuk berbagai disiplin ilmu-ilmu soaial seperti geografi sosial, sejarah, hukum, administrasi negara, politik, ekonomi, antropologi, sosiologi, dan kriminologi.

1. Kerangka Pikir
Pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu wahana pendidikan demokrasi. Dalam konteks wacana
Dari knowing internasional di Indonesia pembelajaran itu masih termasuk ke
democracy” melalui dalam paradigma knowing democracy yakni pembelajaran yang “doing menitikberatkan pada penguasaan pengetahuan demokrasi. democracy”
Sementara itu di negara lain seperti USA, New Zealand, UK menuju sudah berada pada paradigma building democracy yakni “building
pembelajaran yang menitik beratkan pada penyiapan warga negara agar komit terhadap penerapan dan pengembangan demokrasi. Untuk mencapai paradigma yang kedua itu perlu
melalui paradigma doing democracy. Untuk itu maka pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia Model “Projek perlu difasilitasi agar berkembang dari paradigma knowing Belajar democracy ke doing democracy yakni pembelajaran yang Kewarganegaraan…menitik beratkan pada praktek berdemokrasi. Kami Bangsa Indonesia” sebagai Model Projek Belajar Kewarganegaraan… Kami Bangsa model “doing democracy” Indonesia (PKKBI), yang dalam 5 tahun terakhir sudah mulai dirintis pengembangannya di sekolah dasar dan menengah diIndonesia, secara paradigmatik diadaptasi dari model“WPeople….Project Citizen” yang dikembangkan oleh Cent Civic Education (CCE), dan dalam 15 tahun terakhir inidiadaptasi di sekirar 50 negara di dunia, termasuk IndoModel ini bersifat generik, yang secara instrumental-peda dapat dimuati konten/materi yang relevan di masing-masing negara.
Sebagai model dipilih topik generik “Public Policy” (Kebijakan Publik), yang memang berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik para siswa agar mampu menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik dalam konteks pdemokrasi, dan dengan kapasitasnya sebagai “young cita atau warganegara muda mencoba memberi masukan terkebijakan publik di lingkungannya. Hasil yang diharadalah meningkatnya kualitas warganegara yang “cerdas, k
partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab”.
Melalui
tersebut para mahasiswa akan memperoleh pengal bagaimana mengajarkan demokrasi atas dasar pemahaman mendalam tentang apa, mengapa, dan bagaimana demokras
Kompetensi dan Tujuan Pembelajaran
a. Kompetensi:
Model ini sangat potensial untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan “mengambil keputusan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan public secara nalar (kritis, kreatif, antisipatif) dan bertanggungj(semata-mata untuk kepentingan publik-pro bono publicsecara demokratis”. Kompetensi ini bersifat integratif yadalamnya termasuk seluruh dimensi kompetensi kewarganegaraan (civic knowledge, civic disposition, civic
skills, civic commitment, civic confidence, dan civic competence) dalam konteks cita-cita demokrasi konstitussesuai Pancasila dan UUD 1945.
b. Tujuan Pembelajaran:
Melalui model ini Mahasiswa diharapkan: Peka terhadap berbagai masalah yang ada di
lingkungannya yang secara langsung terkait pada kebijakan publik; Tanggap terhadap berbagai implikasi dari permasalah tersebut terhadap berbagai dimensi kebijakan publik; Mampu memecahkan salah satu masalah yang paling krusial dilingkungannya secara sistematis dan kolektifdengan cara pandang sebagai warganegara yang demokratis;
Mampu mengambil keputusan kolektif sebagai rekomendasi terkait kebijakan publik yang relevan;
Mampu mensosialisasikan usulan kebijakan yang
direkomendasikan melalui koridor dan instrumen demokrasi yang ada di lingkungannya;
Sebagai calon pendidik, para mahasiswa juga diharapkan: Mampu melatihkan model tersebut dalam lingkup pembelajaran PKn / IPS di sekolah (SD, SMP, SMU); Mampu melakukan penyempurnaan model tersebut melalui berbagai pendekatan penelitian untuk perbaikan
3. Materi
Materi pokok yang cocok untuk dijadikan fokus pembelajaran
model adalah:
a. Masalah-masalah sosial, politik, yuridis, dan ideologis, yang
ada dalam masyarakat sekitar;
b. Hubungan fungsional masalah-masalah tersebut dalam butir
(a) dengan berbagai dimensi kebijakan publik (public policy);
c. Strategi pemecahan masalah yang mencerminkan konsep dan prinsip demokrasi;
d. Strategi komunikasi untuk mempengaruhi kebijakan publik atas dasar pemecahan masalah;
Dalam kedudukannya sebagai calon pendidik, ditambahkan materi:
e. Rambu-rambu penerapan model untuk lingkup persekolahan.
4. Waktu Secara utuh model dengan satu fokus masalah memerlukan waktu 4 kali pertemuan @150 menit tatap muka ditambah 4 x 180 menit kegiatan terstruktur dan 4 x 180 menit kegiatan mandiri

5. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan
Model pembelajaran ini menerapkan pendekatan fungsional (functional approach) atau pendekatan berbasis masalah (problem-based approach)
Strategi
Strategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari esensi strategi “inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, research-oriented
learning” yang dikemas dalam model “Project”. Dalam hal ini ditetapkan langkah-langkah sebagai berikut:
 Mengidentifikasi Masalah Kebijakan Publik dalam Masyarakat
 Memilih suatu Masalah untuk dikaji oleh kelas
 Mengumpulkan Informasi yang terkait pada Masalah itu
 Mengembangkan Portofolio kelas
 Menyajikan Portofolio
 Melakukan Refleksi Pengalaman Belajar

Di dalam setiap langkah mahasiswa belajar secara terstruktur dan/atau mandiri, baik secara perseorangan dan/atau dalam kelompok kecil dengan fasilitasi dari dosen dan menggunakan
aneka ragam sumber belajar di kampus dan di luar kampus/sekolah (manusia, bahan tertulis, bahan terrekam, bahan tersiar, alam sekitar, artifak, situs sejarah, dll). Disitulah berbagai
keterampilan dikembangkan seperti: membaca, mendengar pendapat orang lain, mencatat, bertanya, menjelaskan, memilih, merumuskan, menimbang, mengkaji, merancang perwajahan,
menyepakati, memilih pimpinan, membagi tugas, menarik perhatian, berargumentasi dll.
Metoda
Metode pembelajaran menggunakan kombinasi presentasi dosen, diskusi umum, diskusi kelompok, survei lapangan, studi kepustakaan, workshop, dan simulasi dengar pendapat
(simulated-hearing)

Media dan Sumber
Model ini menggunakan aneka media dan sumber seperti media cetakan (buku teks, ensiklopedia, buku tulis, kliping) media terekam (video, audio, cd), elektronik (internet), media tersiar
(radio, tv), dan nara sumber (pakar, praktisi, manusia kunci, pelaku sejarah).

Untuk kepentingan perekaman proses belajar dan pengemasan hasil belajar dikembangkan portofolio dalam bentuk tampilan visual yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses
berfikir yang didukung oleh seluruh data yang relevan, yang secara utuh melukiskan “integrated learning experiences” atau pengalaman belajar yang terpadu yang dialami oleh siswa dalam
kelas sebagai suatu kesatuan. Dalam konteks ini portofolio dimaksudkan sebagai kumpulan hasil pekerjaan mahasiswa yang mencerminkan keseluruhan aktivitas mahasiswa dalam melakukan tugas-tugas belajarnya (learning task) dalam konteks pengalaman belajar (learning experiences) secara keseluruhan.
Portofolio terbagi dalam dua bagian yakni “Portofolio tampilan”, dan “Portofolio dokumentasi”. Portofolio Tampilan berbentuk papan empat muka berlipat yang secara berurutan
menyajikan:
1. Rangkuman Permasalahan yang dikaji
2. Berbagai alternatif Kebijakan Pemecahan Masalah
3. Usulan Kebijakan untuk Memecahkan Masalah
4. Pengembangan Rencana Kerja/Tindakan

Sedangkan Portofolio Dokumentasi dikemas dalam Map Ordner atau sejenisnya yang disusun secara sistematis mengikuti urutan Portofolio Tampilan.
Evaluasi
Model ini menggunakan evaluasi berbantuan portofolio(portfolio-assisted evaluation). Portofolio Tampilan dan Dokumentasi selanjutnya disajikan dalam suatu simulasi “Public Hearing” atau dengar pendapat yang menghadirkan pejabat setempat yang terkait dengan masalah portofolio tersebut untuk berperan sebagai juri. Acara dengar pendapat dapat dilakukan di masing-masing kelas atau dalam suatu acara “Show Case” atau“Gelar Kemampuan” bersama dalam suatu acara
kampus/sekolah, misalnya di akhir semester. Bila dikehendaki arena “Show case” tersebut dapat pula dijadikan arena “contest”atau kompetisi untuk memilih kelas/kelompok portofolio terbaik
untuk selanjutnya dikirim ke dalam “Show Case and Contest”antar kampus dalam lingkungan perguruan tinggi, atau untukdunia persekolahan antar sekolah di lingkungan Kabupaten/Kotamadya atau malah untuk acara regional propinsi atau nasional. Tujuan semua itu antara lain untuk saling berbagi ide dan pengalaman belajar antar “young citizens” yang secara
psiko-sosial dan sosial-kultural pada gilirannya kelak akan dapat menumbuhkembangkan “ethos” demokrasi dalam konteks“harmony in diversity”.
Setelah acara dengar pendapat, dengan fasilitasi dosen/guru diadakan kegiatan “refleksi” yang bertujuan untuk secara individual dan bersama-sama merenungkan dan mengendapkan dampak perjalanan panjang proses belajar bagi perkembangan pribadi siswa sebagai warganegara. Ajaklah mahasiswa untuk menjawab pertanyaan “What have I learned best?” What should I do as a citizen?. Demikian pula bagi dosen/guru bertanyalah
“What have I contributed to the development of ethos of democracy in students as young citizens?”
Penerapan dalam Lingkup Persekolahan
Dengan berbekal pengalaman menerapkan model ini di LPTK, para mahasiswa dilatih untuk menerapkannya secara adaptif dalam pembelajaran PPKn/IPS di sekolah (SD, SMP, SMU).
Untuk itu para mahasiswa diminta mengikuti rambu-rambu sebagai berikut:

a. Ambil bidang masalah yang ada dilingkungan sekolah misalnya merokok di sekolah, tawuran,
dll.
b. Kaitkan masalah tersebut dengan kompetensi yang akan dikembangkan, dalam hal ini
kemampuan mengambil keputusan nalar dan tanggungjawab.
c. Kembangkan model ini dengan cara memadukan kegiatan intra, ko, dan ekstra kurikuler.

Kajian Teoritik E-learning Sebagai Media Pembelajaran

Banyak pakar pendidikan memberikan defenisi mengenai E- Learning , seperti yang dipaparkan oleh Siahaan (2004) dalam ”Penerapan E-Learning Dalam Pembelajaran” (Yani : 2007) bahwa E-Learning  merupakan suatu pengalaman belajar yang disampaikan melalui teknologi elektronika. Secara utuh E-Learning (pembelajaran elektronik) dapat didefenisikan sebagai upaya menghubungkan pebelajar (peserta didik)  dengan sumber belajarnya (database, pakar/instruktur, perpustakaan) yang secara fisik terpisah atau bahkan berjauhan namun dapat saling berkomunikasi, berinteraksi atau berkolaborasi secara langsung/synchronous dan secara tidak langsung/asynchronous. E-Learning merupakan bentuk pembelajaran/pelatihan jarak jauh yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi , misalnya internet, video/audio broadcasting, video/audio conferencing, CD-ROOM (secara langsung dan tidak langsung).

Jaya Kumar C dalam (Suyanto : 2005) , mendefinisikan E-Learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Rosenberg  dalam (Suyanto : 2005) juga menekankan bahwa E-Learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Bahkan Onno W. Purbo menjelaskan bahwa istilah “E” atau singkatan dari elektronik dalam E-Learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet (Suyanto : 2005).

Rosenberg mengkategorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam E-Learning, yaitu:

  1. E-Learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam E-Learning, sehingga Rosenberg menyebutnya sebagai persyaratan absolut.
  2. E-Learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet. CD-ROOM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak bisa digolongkan sebagai E-Learning.
  3. E-Learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang mengungguli paradigma tradisional dalam pelatihan (Suyanto : 2005).

Saat ini E-Learning telah berkembang dalam  berbagai model pembelajaran yang berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi seperti:  CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training).

E-Learning   merupakan   metode   pembelajaran   yang   berfungsi   sebagai   pelengkap   metode pembelajaran  konvensional  dan  memberikan  lebih  banyak  pengalaman  afektif  bagi  pelajar. Singkatnya,  E-Learning  menggunakan  teknologi  untuk  mendukung  proses  belajar. Inti  dari  E-Learning ialah metode dimana peserta didik diposisikan  sebagai prioritas utama dengan meletakan semua sumber bahan ajar di genggamannya. Peserta didik akan dapat mengatur durasi mata kuliah  dalam  mempelajarinya dan  akan  mampu  menyerap  serta  mengembangkan  pengetahuan dan keahlian dalam sebuah lingkungan yang telah dibentuk khusus bagi dirinya.

Perbedaan Pembelajaran konvensional dengan E-Learning yaitu pada pembelajaran konvensioanal guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada pelajarnya. Sedangkan di dalam E-Learning fokus utamanya adalah pelajar. Pelajar mandiri pada waktu tertentu dan bertanggung jawab untuk pembelajarannya. Suasana pembelajaran E-Learning akan memaksa pelajar memainkan peranan yang lebih aktif dalam pembelajarannya. Pelajar membuat perancangan dan mencari materi dengan usaha, dan inisiatif sendiri. Menurut Reza Syaeful (2007), perbedaan pembelajaran E-Learning dengan metode pengajaran konvensional adalah sebagai berikut :

Elearning
Metode Pengajaran Konvensional
Bergantung pada motivasi diri pelajar Pengajar memainkan peran dalam memotivasi dan membimbing pelajar
Tes dan ujian dilakukan sesuai dengan kecepatan daya tangkap si pelajar Tes dan ujian dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan secara umum.
Metode inovatif diperlukan untuk mengadakan test dan eksperimen praktek. Laboratorium tersedia dalam melakukan kegiatan tes dan eksperimen praktek
Durasi mata pelajaran ditentukan oleh pelajar Institusi memiliki kalendar dan durasi tetap bagi tiap mata pelajaran
Lebih sukses dalam jumlah pelajar yang mengikuti pembelajaran online Kegiatan belajar dibatasi pada mereka yang bersekolah di institusi tersebut

Dalam pendidikan konvensional fungsi E-Learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco (2001) menjelaskan filosofis E-Learning sebagai berikut:

  1. E-Learning merupakan penyampian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara online.
  2. E-Learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROOM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi
  3. E-Learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.
  4. Kapasitas siswa sangat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar content dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik

E-Learning   bukan   hanya   sekedar   kursus   online,   akan   tetapi   juga   membantu   memperluas wawasan. Metode ini memberikan akses kepada informasi online, juga tersedia jaringan dimana para  individu  dapat  saling  memecahkan masalah, disana terdapat para pengajar yang hadir untuk menyediakan bimbingan dan nasihat. Menurut Reza Syaeful (2007), E-Learning  menawarkan  kesempatan  akademis  yang  unik  untuk  memperluas  pengetahuan peserta didik.

Dalam dunia pembelajaran elektonik, ada keuntungan langsung yang diperoleh melalui E-Learning seperti :

  1. Membantu munculnya pertanyaan yang lebih interaktif dan berlingkup luas.
  2. Mendukung  dan memfasilitasi kolaborasi tim dan juga   memperluas kemudahan untuk mengakses pendidikan melampaui batasan institusi, geografis dan budaya.
  3. Catatan  kelas  dan  materi  langsung  tersedia  di  Internet  dimana  para  pelajar  dapat mengakses    situs    tersebut    dari    belahan    dunia manapun.    Ini    berbeda    dengan pembelajaran  jarak  jauh (distance  learning)  dimana  peserta didik  diberikan materi  kelas dan mempelajarinya sendiri sampai dengan waktu ujian
  4. E-Learning sangat interaktif, software yang  tesedia   memungkinkan   peserta didik untuk berkomunikasi, tidak hanya dengan pengajar tetapi juga dengan sesama peserta didik.
  5. E-Learning  memiliki  kemampuan  untuk  berkomunikasi  secara  konsisten  pada  peserta didik  dengan menyediakan informasi dan konsep yang sama, berbeda dengan pembelajaran di kelas dimana instruktur yang berbeda mungkin tidak akan mengikuti kurikulum yang sama atau bahkan mengajarkan hal yang berbeda di dalam kurikulum.
  6. E-Learning  merupakan  solusi  murah  dalam  hal  jumlah  peserta didik  tiap  instruktur.  Sebagai tambahan, ini juga mengurangi waktu belajar di kelas dan sangat berguna bagi peserta didik yang memiliki pekerjaan tetap.
  7. Peserta didik, instruktur dan penilai dapat mengawasi hasil belajar dengan mudah.

Menurut Siahaan (2004) dalam (Yani : 2007), setidaknya ada tiga fungsi E-Learning terhadap kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction)

  1. Suplemen (tambahan). Dikatakan berfungsi sebagai suplemen apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini tidak ada keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.
  2. Komplemen (pelengkap). Dikatakan berfungsi sebagai komplemen apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Sebagai komplemen berarti materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pengayaan atau remedial. Dikatakan sebagai pengayaan (enrichment), apabila kepada peserta didik yang dapat dengan cepat menguasai/ memahami materi pelajaran yang disampaikan pada saat tatap muka diberi kesempatan untuk mengakses materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan terhadap materi pelajaran yang telah diterima di kelas. Dikatakan sebagai program remedial, apabila peserta didik  yang mengalami kesulitan memahami materi pelajaran pada saat tatap muka diberikan kesempatan untuk memanfaatkan materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dirancang untuk mereka. Tujuannya agar peserta didik semakin mudah memahami materi pelajaran yang disajikan di kelas.
  3. Substitusi (pengganti). Dikatakan sebagai substitusi apabila E-Learning dilakukan sebagai pengganti kegiatan belajar, misalnya dengan menggunakan model-model kegiatan pembelajaran. Ada tiga model yang dapat dipilih, yakni : (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau (3) sepenuhnya melalui internet.

Internet Sebagai Media Pembelajaran

Menurut Kamarga, Internet adalah jaringan yang terdiri atas ribuan bahkan jutaan komputer, termasuk di dalamnya jaringan lokal, yang terhubungkan melalui saluran (satelit, telepon, kabel) dan jangkauannya mencakup seluruh dunia (Suyanto : 2005)Internet pertama kali muncul di Amerika pada tahun 1970 yakni dengan diawali munculnya TCP/IP (Transmissiaon Control Protocol / Internet protocol oleh sebuah penelitian  di Stanford University Of Utah. Sebelum munculnya TCP/IP, Amerika telah menggunakan jaringan komputer yang pertama untuk menghubungkan empat situs, yaitu Stanford Reseach University Institude,  University of California at Los Angeles, University of California at Santa Barbara dan University of Utah. Jaringan komputer ini disebut dengan ARPAnet. Jadi, dari sejarah kemunculannya dapat dilihat bahwa internet pertama kali digunakan untuk akses informasi pendidikan.

Pemanfatan teknologi internet untuk pendidikan di Indonesia secara resmi dimulai sejak dibentuknya telematika tahun 1996. Masih ditahun yang sama dibentuk Asian Internet Interconnections Initiatives (www.ai3.itb.ac.id/indonesia). Jaringan yang dikoordinir oleh ITB ini bertujuan untuk pengenalan dan pengembangan teknologi internet untuk pendidikan dan riset, pengembangan backbone internet pendidikan dan riset di kawasan Asia Pasific bersama-sama perguruan tinggi di kawasan ASEAN dan Jepang, serta pengembangan informasi internet yang meliputi aspek ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, sosial, dan ekonomi.

Menurut Kenji Kitao, setidak-tidaknya ada tiga karakteristik atau potensi internet yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari (Azmiar : 2007), yaitu sebagai alat komunikasi, alat mengakses informasi, dan alat pendidikan/pembelajaran.

  1. Internet sebagai alat komunikasi yang bekerja sangat cepat. Dengan memanfaatkan teknologi internet, maka komunikasi dari seorang kepada banyak orang (one-to-many communication) dapat dilakukan secara simultan/bersamaan, yaitu misalnya melalui fasilitas e-mail, mailing list, atau chatting dalam waktu yang bersamaan dan dapat diakses secara cepat oleh user.
  2. Internet sebagai alat mengakses informasi. Melalui internet, informasi yang disajikan oleh berbagai surat kabar atau majalah dapat kita akses tanpa harus berlangganan. Demikian juga dengan berbagai informasi lainnya, mulai dari yang paling sederhana, seperti prakiraan cuaca, kurs valuta asing sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan sosial, ekonomi, budaya, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Seseorang dapat mengakses berbagai referensi, baik yang berupa hasil penelitian, maupun artikel hasil kajian dalam berbagai bidang. Tidak lagi harus secara fisik pergi ke perpustakaan untuk mencari berbagai referensi sebab internet merupakan perpustakaan yang terbesar dari perpustakaan yang ada di mana pun (Kitao, 2002) dalam e-Learning-Understanding its true business value and opportunityhttp://www.ekofeum.ac.id/jurnal/artikel.php.htm. Seseorang cukup hanya duduk saja di depan komputer (tentunya menggunakan komputer yang dilengkapi fasilitas koneksi ke internet) dan menggunakannya. Informasi yang tersedia dan dapat diakses melalui internet tidak hanya yang ada atau terjadi di suatu negara saja tetapi juga yang terjadi di seluruh penjuru dunia (global world). Artinya, perkembangan yang terjadi di berbagai negara dapat dengan cepat diketahui oleh banyak orang. Demikian juga halnya dengan informasi yang menyangkut bidang pendidikan/pembelajaran.  Seseorang tidak perlu lagi harus hadir di ruang kelas/kuliah untuk mengikuti kegiatan pembelajaran/perkuliahan. Cukup dari tempat masing-masing yang dilengkapi dengan komputer dan fasilitas sambungan internet. Dengan dukungan fasilitas yang demikian ini, kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan. Artinya, peserta didik dapat berinteraksi dengan sumber belajar, baik yang berupa materi pembelajaran itu sendiri maupun dengan instruktur/guru yang membina materi pembelajaran.
  3. Internet sebagai alat pendidikan/pembelajaran. Perkembangan dan kemajuan teknologi internet yang sangat pesat dan merambah ke seluruh penjuru dunia telah dimanfaatkan oleh berbagai negara, institusi, dan ahli untuk berbagai kepentingan termasuk di dalamnya untuk pendidikan/pembelajaran. Perangkat lunak yang telah dihasilkan akan memungkinkan para pengembang pembelajaran (instructional developers) bekerjasama dengan ahli materi (content specialists) mengemas materi pembelajaran elektronik (online learning material). Pembelajaran melalui internet dapat diberikan dalam beberapa format (Wulf, 1996), di antaranya adalah: (1) Electronic mail (delivery of course materials, sending in assignments, getting and giving feedback, electronic discussion group), (2) Bulletin boards/newsgroups for discussion of special group, (3) Downloading of course materials or tutorials, (4) Interactive tutorials on the Web, dan (5) Real time, interactive conferencing using MOO (Multiuser Object Oriented) systems or Internet Relay Chat.

Pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran akan membantu dunia pendidikan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas peserta didiknya. Akan banyak peserta didik yang dapat di jangkau dengan internet, menurut Onno W. Purbo dalam (Renggani : 2007) paling tidak ada tiga hal dampak positif penggunaan internet dalam pendidikan yaitu:

  1. Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah dimanapun di seluruh dunia tanpa batas institusi atau batas negara.
  2. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang diminatinya.
  3. Kuliah atau belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa bergantung pada universitas atau sekolah tempat si peserta didik belajar. Di samping itu kini hadir perpustakaan internet yang lebih dinamis dan bisa digunakan di seluruh jagat raya.

Selain itu, Onno W. Purbo juga mengunggkapakan ada lima aplikasi standar internet yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, yaitu :

  1. Electronic mail (e-mail), mulai diperkenalkan tahun 1971   (http://www.livinginternet.com). Fasilitas ini sering disebut sebagai surat elektronik, merupakan fasilitas yang paling sederhana dan mudah digunakan. Dalam survei yang dilakukan sebuah lembaga riset Amerika Serikat (Graphics, Visualization and Usability Center) diketahui bahwa 84% responden memilih e-mail sebagai aplikasi terpenting internet, lebih penting daripada web (http://www.gvu.gatech..edu/user_surveis/).
  2. Mailing List, mulai diperkenalkan setelah e-mail yaitu sejak tahun 1972 (http://www.livinginternet.com). Ini merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan untuk membuat kelompok diskusi atau penyebaran informasi. Cara kerja mailing list adalah pemilik e-mail dapat bergabung dalam sebuah kelompok diskusi, atau bertukar informasi yang tidak dapat diintervensi oleh orang di luar kelompoknya. Komunikasi melalui fasilitas ini sama seperti e-mail bersifat tidak langsung (asynchronous)
  3. News group, adalah fasilitas internet yang dapat dilakukan untuk komunikasi antar dua orang atau lebih secara serentak atau bersifat langsung (synchronous). Bentuk pertemuan ini sering disebut sebagai konferensi, dengan fasilitas video conferencing, atau text saja, atau bisa audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC).
  4. Melalui fasilitas File Transfer Protocol (FTP) ini seseorang dapat menstransfer data atau file dari satu komputer ke internet (up-load) sehingga bisa diakses oleh pengguna internet di seluruh pelosok dunia. Di samping itu fasilitas ini dapat mengambil file dari situs internet ke dalam komputer pengguna (down-koad).
  5. World Wide Web atau sering disebut Web mulai diperkenalkan tahun 1990-an (http://www.livinginternet.com). Fasilitas ini merupakan kumpulan dokumentasi terbesar yang tersimpan dalam berbagai server yang terhubung menjadi suatu jaringan (internet). Dokumen ini dikembangkan dalam format Hypertext Markup Language (HTML). Melalui format ini dimungkinkan terjadinya link dari satu dokumen ke dokumen lain dan fasilitas ini bersifat multimedia, yang terdiri dari kombinasi teks, foto, grafik, audio, animasi, dan video.

Teknologi internet mengemuka sebagai media yang multirupa. Komunikasi melaui internet bisa dilakukan secara interpersonal (misalnya e-mail dan chatting) atau secara masal, yang dikenal dengan one to many communication (Misalnya mailing list). Internet juga mampu hadir secara real time audio visual seperti pada metode konvensional dengan adanya aplikasi teleconference. Berdasarkan hal tersebut maka internet sebagai media pengajaran mampu menghadapkan karakteristik yang khas, yaitu sebagai media interpersonal dan massa, bersifat interaktif, memungkinkan komunikasi secara sinkron dan asinkron (tunda). Karakteristik ini memungkinkan peserta didik melakukan komunikasi dengan sumber ilmu secara lebih luas bila dibandingkan dengan hanya menggunakan media konvensional.

KONSUMSI MEREK SEPATU DAN IDENTITAS WANITA MUDA (MAHASISWI) DIKAMPUS UNS SOLO

ABSTRAK

 

Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru kita. Ideologi tersebut secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan merek yang terkenal dan unik (Paul du Gay,et al, 1997: 99-102). Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami pola konsumsi wanita muda (mahasiswi) terhadap sebuah merek sepatu hubungannya dengan pembentukan identitas diri.

Metode yang digunakan adalah fenomenologi. Sampel terdiri dari dua kelompok responden dengan rincian setiap kelompok terdiri dari tiga responden, masing masing kelompok memiliki perbedaan pola konsumsi terhadap merek sepatu dimana salah satu kelompok responden selalu mengkonsumsi jenis sepatu bermerek global sementara satu kelompok responden lagi adalah pengguna sepatu merek-merek lokal. Metode utama dalam pengumpulan data adalah depth interview, sedangkan metode pendukung yang digunakan adalah observasi, dokumentasi dan catatan lapangan.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa antara kedua kelompok responden (keenam responden) tersebut memiliki kesamaan dalam konsumsi terhadap suatu merek sepatu, dimana konsumsi yang mereka lakukan selalu mengarah pada “nilai identitas”, tetapi identitas yang mereka bangunlah yang membedakan keduanya. Satu kelompok responden ingin membangun identitas dirinya sebagai wanita muda (mahasiswi) yang ngetrend, mengikuti mode, modis, fashionable dan tentunya berasal dari keluarga kaya (menengah keatas), sementara kelompok responden berikutnya ingin membangun identitas mereka sebagai wanita muda (mahasiswi) yang “sederhana” (tampil apa adanya sesuai dengan kemampuan, tidak perlu mewah, glamor dan berharga mahal asalkan sopan dan rapi). Kecenderungan pola konsumsi pada setiap wanita muda selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor media massa, lingkungan keluarga, pergaulan (peer group) dan latar belakang ekonomi.

Kata Kunci : Wanita Muda (mahasiswi), Konsumsi, Merek dan Identitas


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Konsumsi merupakan hal yang pokok disepanajang hidup manusia karena didalamnya mencakup pemenuhunan kabutuhan manusia. Konsumsi menjadi bagian hidup manusia sejak awal kehidupan manusia hingga sekarang hanya saja perilaku dan tujuan konsumsinya selalu mengalami pergeseran dari masa kemasa. Jika kita menengok kembali kehidupan manusia pada tahun 12.000 SM yang tercatat sebagai zaman paleolitikum, perilaku konsumsi dalam kehidupan zaman tersebut dicerminkan dengan berburu hewan atau ikan demi memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kemudian perilaku konsumsi mulai bergeser seiring dengan revolusi zaman, ditandai dengan adanya perdagangan dan perluasan kehidupan ekonomi pada zaman neolitikum. Perdagangan sebagai bentuk perilaku konsumsi manusia pada zaman itu dilakukan dengan sistem barter.

Perilaku konsumsi manusia mengalami pergeseran lagi hingga sampai pada zaman modern dan postmodern seperti yang terjadi saat ini. Konsumsi telah menjadi suatu budaya dalam masyarakat modern, kegiatan itu dilakukan tidak lagi hanya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuan dasar dan fungsional manusia. Masyarakat modern tidak dapat melepaskan diri dari informasi-informasi yang berurusan dengan kegiatan konsumsi. Fenomena seperti itu selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat (disepanjang jalan, tempat-tempat publik dan lain-lain) melalui beragam media seperti televisi, poster-poster, majalah maupun koran-koran harian yang selalu memuat informasi dan iklan-iklan suatu produk. Perkembangan tersebut dinilai sebagai pertanda positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat karena peningkatan kegiatan konsumsi dipandang sebagai efek dari naiknya penghasilan dan taraf hidup masyarakat. Disisi lain, justru dipandang sebagai kemunduran rasionalitas masyarakat, karena sering terjadi ketidaksignifikanan korelasi antara kegiatan konsumsi dengan penghasilan.

Saat ini, budaya kapitalisme dan hedonisme dengan berbagai ragam bentuknya telah menggejala begitu derasnya. Salah satunya adalah budaya konsumerisme yang tidak lain adalah kepanjangan tangan dari budaya kapitalistik yang terlihat secara mencolok dengan tegaknya pusat-pusat perbelanjaan, mall-mall, menjangkitnya trend mode atau fashion, menjamurnya kafe-kafe, kontestasi idol dan sederet ikon modernitas lainnya[1]. Ikon-ikon modernitas tersebut lebih banyak didomisili oleh kehadiran wanita-wanita muda yang cantik dan feminim meskipun tidak sedikit pula ikon budaya modern direpresentasikan dengan model pria yang gagah dengan kesan macho. Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas praktek konsumsi yang dilakukan oleh wanita-wanita muda karena wanita lebih rentan menjadi maniak belanja atau berperilaku konsumtif. Wanita juga sering tidak dapat menahan diri ketika melihat barang-barang dengan trend baru yang fashionable , sehingga wanita sering disebut makhluk shopaholic[2].

Perilaku konsumtif pada mayoritas wanita merupakan bentukan lingkungan globalisasi. Menurut Winardi dan Wirawan (dalam Farida, 2006) perilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya karena faktor atau pengaruh dari lingkungan seperti lingkungan keluarga, lingkungan tempat ia bekerja, sekolah atau lingkungan peer groupnya, kendali diri yang rendah, ada juga karena faktor psikologis salah satunya misalnya konsep diri, dan faktor situasional. Selain itu kesalahan presepsi kaum wanita terhadap kebebasan yang diberikan kepada mereka saat ini juga turut memberi pengaruh terhadap perilaku konsumtif mereka. Atas prinsip kebebasan tersebut wanita merasa bebas menentukan pilihan apapun terhadap karir dan apa yang ingin dikonsumsinya.

Hal di atas bertolak belakang ketika Indonesia menghadapi kekejaman para penjajah dimana wanita kembali digambarkan sebagai sosok yang tidak diperhitungkan dan dianggap remeh. Misalnya, penyiksaan yang dialami wanita pribumi. Tampak para wanita tidak luput dari penindasan serdadu-serdadu Jepang. Mereka dipaksa menyerahkan perhiasan sebagai modal Jepang melakukan perang, dipaksa menumbuk padi untuk kemudian diserahkan kepada Jepang, memasak untuk keperluan tentara Jepang, bekerja paksa di pabrik pembuatan sake, menyapu jalan, dan yang paling parah adalah penipuan Jepang dengan iming-iming akan disekolahkan yang ternyata diculik dan disekap guna memenuhi kebutuhan seks para tentara Jepang. (Nurdiyansah. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Ada di Mana? Jurnal Perempuan : YJP)

Fashion menjadi daya tarik bagi wanita pada umumnya, karena fashion berhubungan dengan penampilan dan mode. Sesuai dengan pendapat Hurlock (1996) yang mengatakan bahwa wanita menyadari penampilan fisik yang menarik sangat membantu statusnya dalam bidang bisnis maupun dalam perkawinan. Karena itu tidak mengherankan jika bagi beberapa wanita, fashion menjadi sangat penting bagi penampilan mereka. Fashion bagi perempuan memiliki banyak dimensi fungsi yaitu antara lain sebagai daya tarik, komunikasi, ekspresi individualistik, nilai sosial dan status, nilai ekonomi, simbol politis, kondisi magis-religius, dan rekreasi[3].

Fashion lekat kaitannya dengan benda-benda yang memanjakan bagian-bagian tubuh wanita mulai dari ujung rambut sampai kaki. Misalnya, sepatu atau sandal yang sebenarnya benda sepele, tetapi menjadi sesuatu yang istimewa dan membutuhkan perhatian lebih. Sepatu atau sandal mempunyai sejarah tersendiri, salah satunya pada zaman Tokugawa di Jepang (1600-1867) yang secara khusus menegaskan bahwa setiap kelas sosial hendaknya membuat sandalnya masing-masing (Roach dan Eicher, 1979 : 13)[4]. Di Indonesia pun juga memiliki sejarah yang istimewa terhadap sebuah sepatu pada tahun 1950-an ketika Bung Hatta menginginkan sepatu Bally. Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta[5].

Satu lagi sejarah sepatu, yaitu sepatu boots, boots identik dengan cowboy Amerika, tapi sebenarnya orang Asia sudah lebih dahulu menggunakannya. Pada tahun 1200-an, Jenghis Khan penguasa Mongolia kerap kali menggunakan boots berwarna merah dengan sol bahan kayu. Karena kuat dan tahan banting, boots menjadi bahan seragam militer, seperti saat Inggris berperang melawan pasukan Napoleon Bonaparte di Waterloo tahun 1815. Waterlooboots lantas menginspirasi banyak orang sehingga semakin lama kegunaan sepatu boots Semakin di kenal orang, dan tambah popular saat di pakai cowboy. (http://segruckchemonk.blogspot.com/2010/04/sejarah-sepatu-boots.html)

Dari masa kemasa beragam jenis dan merek sepatu mulai memadati pasaran global, terutama jenis sepatu wanita. Kemunculan sepatu dengan merek-merek tertentu semakin bertebaran dimana-mana (dimall-mall, outlet-outlet di sepanjang jalan utama, bahkan tidak sedikit pula toko online yang menawarkannya) yang menggoda kaum wanita untuk mengkonsumsinya. Hal itu tidak lagi hanya dapat ditemui di perkotaan atau di daerah pusat tempat-tempat publik seperti Jakarta tetapi sudah merambah disegala penjuru. Lihat saja di Solo, meskipun kota kecil tetapi disana dapat kita temui berbagai jenis dan merek sepatu yang dipamerkan di sepanjang Jln. Dr. Radjiman, pusat perbelanjaan Solo Grand Mall, Solo Squere dan Matahari Departement Store Singosaren[6].

Konsumennya tidak lagi hanya wanita karir yang sudah berpenghasilan sendiri, tetapi wanita-wanita muda seperti halnya mahasiswi juga tidak kalah saing dalam konsumsi berbagai merek sepatu karena sepatu merupakan hal pokok bagi mahasiswa. Dikampus dapat dengan mudah ditemui mahasiswi-mahasiswi dengan beragam model dan merek sepatu, jarang sekali ditemui sepatu dengan model yang sama antara satu mahasiswi dengan mahasiswi lainnya, mungkin hal itu telah didesain sedemikian rupa oleh produsennya. Mahasiswi-mahasiswi yang hampir sebagian besar belum berpenghasilan sendiri dan masih sepenuhnya tergantung pada orang tua itu terlihat mengkonsumsi atau memakai sepatu dengan merek-merek global terkenal yang tentunya mahal dan hal itu menjadi hal yang wajar meskipun masih ada juga yang memakai merek lokal dengan image kesederhanaannya [7].

Konsumsi sepatu sebagai salah satu gaya hidup memberi kode semiotik untuk menampilkan image dan identitas. Ditegaskan kembali bahwa pada tulisan ini akan membahas praktek konsumsi yang dilakukan wanita-wanita muda (mahasiswi) terhadap sebuah sepatu bermerek.

 

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan diangkat adalah :

1. Bagaimana merek sepatu dapat memberikan identitas pemakainya ?

 

C. Kerangka Teori

Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Namun konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya konsumsi. Sistem masyarakat pun telah berubah, dan yang ada kini adalah masyarakat konsumen, yang mana kebijakan dan aturan-aturan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan pasar. Peter N. Stearns[8] mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat diwarnai konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :

consumerism is best defined by seeing how it emerged but obviously we need some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism describes a society in which many people formulate their goals in life partly through acquiring goods that they clearly do not need for subsistence or for traditional display. They become enmeshed in the process of acquisition shopping and take some of their identity from a posessionif new things that they buy and exhibit. In this society, a host of institutions both encourage and serve consumerism..from eager shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce designer employed to put new twists on established models, to advertisers seeking to create new needs..”

 

Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru kita. Ideologi tersebut secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat orang tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa melakukan konsumsi.

Paul du Gay, et al. dalam bukunya: Doing Cultural Studies: The Stories of the Sony Walkman (1997) menelusuri sejarah munculnya kritik atas budaya konsumtif dalam masyarakat konsumen. Mazhab Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, menempatkan kritik atas budaya konsumtif ini dalam kritik mereka atas Enlightenment. Istilah budaya industri sendiri diperkenalkan oleh Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Budaya industri sendiri lahir dalam situasi di mana kegiatan industri difokuskan untuk menciptakan produk-produk dalam jumlah massal (Paul du Gay, et al, 1997: 81). Mereka melihat konsumsi sebagai tindakan memanipulasi masyarakat yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari eksistensi sosial yang lebih otentik. Paul du Gay mengungkapkan fakta bahwa kebanyakan konsumen melakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan identitas diri. Paul du Gay dkk. menelusuri kembali konsep diferensiasi sosial yang pernah dikemukakan oleh Throstein Veblen yang menyatakan bahwa seberapapun miskinnya seseorang, tindakan konsumsinya tidak hanya mengarah pada “nilai guna”, tetapi selalu mengarah pada “nilai identitas” (Paul du Gay, et al, 1997: 96).

Dalam hal ini yang menjadi patokan tentu saja trend yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Mowen & Minor mengatakan bahwa orang sering membeli produk bukan untuk manfaat funsional tetapi lebih untuk nilai simboliknya. Nilai simbolik disini adalah berupa kemampuan mengkomunikasikan diri konsumen kepada orang lain. Dijelaskan (dalam Roach dan Eicher, 1979 : 7) bahwa idividu-individu mungkin memperoleh kesenangan estetis baik dari “penciptaan pameran pribadi” maupun dari “apresiasi dari orang lain”.

Selain itu seperti yang diungkapkan oleh Bourdieu, konsumsi sekaligus berkaitan dengan benda-benda material dan aktivitas simbolis. Objek konsumsi mendatangi kita sekaligus sebagai benda material dan bentuk simbolis. (Paul du Gay, et al, 1997: 97). Penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan merek yang terkenal dan unik (Paul du Gay,et al, 1997: 99-102).

Searah dengan kritik terhadap masyarakat konsumen dan budaya konsumsi yang diungkapkan Paul du Gay dkk., Jean Baudrillard, 1997: 200 meradikalkan konsep tentang konsumsi ini dengan menghubungkannya dengan kapitalisme global dan media massa yang selalu menciptakan dan menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Bagi Baudrillard, konsumsi diradikalkan menjadi konsumsi tanda. Menurutnya masyarakat konsumen tidak lagi terikat oleh suatu moralitas dan kebiasaan yang selama ini dipegangnya. Mereka kini hidup dalam suatu kebudayaan baru, suatu kebudayaan yang melihat eksistensi diri mereka dari segi banyaknya tanda yang dikonsumsi. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi tidak lagi dilihat sebagai suatu kegiatan menghabiskan obyek, tetapi merupakan relasi di antara obyek atau sebagai suatu tindakan sistematis untuk memanipulasi benda (dikutip: MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 2, DESEMBER 2006: 49-57).

Baudrillard memaknai tanda sebagai sebuah fashion. Ada tiga logika yang terkait dengan fashion atau tanda. Pertama, logika fungsional nilai guna; yang merujuk pada logika pada praktik operasional dan kegunaan dan tampak merujuk juga objek saat dianggap sebagai instrumen atau sesuatu yang berkaitan dengannya. Kedua, logika ekonomi nilai tukar;yang merujuk juga pada logika ekuivalensi atau pasar dan tampak merujuk pada pertimbangan harga atau pertukaran komersial. Ketiga, logika pertukaran simbolis; logika ini merujuk pada logika ambivalensi atau pemberian dan merujuk pada pertimbangan keterlibatan relasi[9].

Tanda-tanda pada objek konsumsi pada kenyataannya justru cenderung digunakan untuk menandai relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Memang kenyataan bahwa konsumsi sebagai satu sistem diferensiasi, sistem pembentukan perbedaan-perbedaan status, simbol dan prestise sosial telah menandai pola sosial masyarakat konsumer. Dalam masyarakat konsumerisme, masyarakat hidup di suatu bentuk relasi subjek-objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer (bukan melalui kegiatan penciptaan), dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung didalamnya. Objek juga mampu membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat pertandaan. Itulah mengapa orang cenderung menilai dan mengenali orang dari penempilan luarnya, apa yang dikenakannya, asseorisnya, mulai dari tas, sepatu, kacamata, dan sebagainya bermerek apa. Barang-barang bermerek menunjukkan nilai sosial yang tinggi. Pada barang-barang tersebut tertempel nilai eksklusifitas[10].

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Beragam pusat perbelanjaan mulai meramaikan kota Solo, dimana setiap pusat perbelanjaan tersebut selalu menampilkan sebuah daya tarik yang tidak lepas dari sebuah fashion. Disetiap sudut ruang pusat perbelanjaan selalu dengan mudah dapat ditemui poster-poster dan iklan-iklan sebuah produk dengan daya tariknya masing-masing yang menawarkan serta menjanjikan suatu keindahan kepada konsumen. Selain itu fashion yang sering dimaknai dengan penampilan dari benda fisik (pakaian, busana, sepatu, tas, aksesoris, kosmetik dan lain-lain) selalu mendapat ruang khusus pada setiap pusat perbelanjaan, bahkan memenuhi hampir 80 % dari ruang pusat perbelanjaan. Seperti yang terjadi di pusat perbelanjaan Solo Grand Mall, disana berjajar outlet-outlet yang sebagian besar adalah menawarkan pakaian dan seperangkatnya. Di Solo Grand Mall juga dapat ditemui beberapa outlet sepatu dengan merek khusus atau beragam yang hampir seluruhnya berlabel Barat dan sudah jelas mahal seperti yang dilantai 3 ada Yongki Komaladi dan Famous sedangkan dilantai 2 ada Geovani. Lain halnya di Matahari yang menyediakan beragam kebutuhan fashion dan beragam merek sepatu dengan berbagai variasi harga[11]. Ada lagi merek yang menarik dan sering diminati konsumen khususnya wanita-wanita muda (mahasiswi) yaitu merek “Sophie Martin”. Merek ini menjadi fenomenal bagi kalangan mahasiswi akhir-akhir ini. Misalnya, banyak mahasiswi yang meperbincangkannya dan membawa catalog (majalah) Shopie Martin ke kampus.

Outlet-outlet sepatu juga dapat ditemui di sepanjang Jln. Dr. Radjiman Solo. Apabila kita melintasi jalan searah tersebut maka kita akan disuguhi pemandangan di sepanjang kanan kiri jalan dengan sepatu-sepatu yang dipajang rapi di balik kaca-kaca sehingga terpantul dengan menarik. Di sepanjang jalan itu juga terlihat semrawut dengan poster-poster yang mengiklankan suatu produk dan kendaraan-kendaraan yang terparkir di badan jalan[12].

Berdasarkan pengamatan penulis, pusat-pusat perbelanjaan dan outlet-outlet sepatu menjadi ramai ketika menjelang hari-hari libur atau hari raya seperti malam minggu, sepanjang hari minggu, menjelang Hari Raya Idul Fitri, Natal, Imlek, Valentine dan lain sebagainya. Hal tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak produsen untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya dengan promo khusus atau diskon. Pada menjelang Natal 2010 banyak sekali tawaran diskon di Solo Grand Mall dan Matahari Departement Store yang hampir mencapai diskon 70 %. Strategi tersebut memang sangat manjur untuk menarik konsumen, karena sebagian konsumen lebih tertarik pada produk-produk dengan tawaran diskon. Pada Rabu malam tanggal 22 Desember 2010 menjelang Natal, ruang lantai 1 Solo Grand Mall dipadati pengunjung karena disana ada penawaran diskon oleh Matahari. Bagitu juga di lantai dasar Matahari Departement Store Singosaren tampak padat oleh pengunjung pada Jumat sore menjelang Natal, mereka sedang memilih produk-produk yang sedang didiskonkan.

Sekilas pengamatan, outlet-outlet sepatu dengan merek merek terkenal seperti Yongki Komaladi, Geovani, Shopie Martin lebih banyak dikunjungi oleh orang-orang keturunan Cina dan orang-orang yang berpenampilan modis ala Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa peminat sepatu dengan merek-merek global bisa dibilang berasal dari kalangan menengah keatas. Maka feneomena ini dapat membuktikan bahwa apa yang ditulis Paul du Gay,et al, (1997: 99-102) adalah benar dan semakin terlihat jelas dewasa ini. Penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan merek yang terkenal dan unik.

Fashion menjadi sebuah tanda bagi masyarakat dan memiliki makna yang dapat menjadi cara mengkomunikasikan identitas sosial, seksual, kelas, dan gender[13]. Dengan gaya dan pakain yang feminim dan identik dengan warna pink maka orang lain akan menilainya sebagai wanita yang menarik dan cantik. Malcolm Barnard dalam bukunya Fashion as Communication[14] mencontohkan bahwa sepatu bayi warna pink biasanya menandakan bahwa bayi yang memakainya adalah perempuan, sedangkan sepatu warna biru menandakan bahwa bayi pemakainya adalah laki-laki. Sebenrnya warna sama sekali tidak berhubungan dengan jenis kelamin, tetapi digunakan untuk menandakan atau mewakili sesuatu atau jenis kelamin. Bentuk corak dan warna yang ditemukan dalam gambar fashion dan foto bisa dijelaskan sebagai penanda dari butir-butir gambar atau foto itu sendiri. Pada sebuah foto Yves Saint Laurent, misalnya bentuk dan corak atau warna merupakan penanda dan dan Yves Saint Laurent merupakan petanda. Bentuk dan corak atau warna bukanlah manusia melainkan ia mempresentasikan manusia.

Dalam konsumtivisme terjadi kerancuan-kerancuan mengenai apa yang benar-benar diperlukan dan mana yang sekadar kebutuhan semu. Membeli barang bukan karena nilai intrinsiknya tapi karena citra tertentu yang melekat pada produk tersebut. Sebagai contoh, sepatu merek lokal dan sepatu merek Manolo Blahnik sama-sama sepatu, tetapi bagi sebagian wanita muda, ketika membeli sepatu merek Manolo Blahnik rasanya tak sekedar membeli sepatu, mereka merasa membeli gengsi dan status sosial. Hal-hal yang tidak mereka peroleh dengan membeli merek lokal, meski keduanya adalah sepatu. Saat itulah, konsumsi menjadi hobi atau gaya hidup. Apakah benar wanita muda mayoritas berada pada kondisi ini?

Ada enam wanita muda (mahasiswi) yang kebetulan adalah teman penulis dan bersedia membagi pengalamannya terhadap suatu produk sepatu. Mereka rata-rata mahasiswa semester lima dan tiga dengan usia antara 19-22 tahun. Dari keenam wanita muda (mahasiswi) tersebut tiga diantaranya adalah penggemar sepatu-sepatu bermerek seperti Yongki Komaladi, Ghost, Manolo Blahnik, Shopie Martin, Nevada, St. Yves dan Fladeo, mereka adalah Mey, Asih dan Liana. Sedangkan tiga sisanya adalah teman-teman penulis yang selalu memakai sepatu dengan merek-merek lokal seperti merek Nugraha, New Era, ATT, Ando dan lain sebagainya, mereka adalah Erva, Nisa’ dan Ara. Perbedaan perilaku konsumsi ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana dua kelompok ini melakukan pertimbangan pemilihan dalam konsumsi sebuah sepatu.

Dari keenam responden yang dipilih tidaklah menjadi representasi secara umum dari wanita muda (mahasiswi) di kampus UNS Solo tetapi setidaknya dapat memaparkan bahwa setiap wanita muda (mahasiswi) memiliki pola tertentu dalam melakukan praktek konsumsi terhadap sebuah sepatu. Pola konsumsi tersebut tidak semata-mata sifat bawaan dari lahir tetapi sering terbentuk oleh lingkungan sekitar. Ada banyak faktor yang memberi pengaruh terhadap pola konsumsi wanita-wanita muda zaman sekarang.

Bagi beberapa wanita muda (mahasiswi) seperti Mey, Asih dan Liana membeli sepatu merupakan hal penting dan wajib dilakukan. Mereka mengatakan bahwa dalam seminggu tidak pantas jika memakai sepatu yang sama ketika ke kampus. Sepatu harus dipadukan dengan pakain sehingga terlihat matching (cocok).

“Sepatuku ada 3 pasang kalo sandalnya cuma 2 pasang aja yang bagus lainnya sandal-sandal buat dirumah. Kebetulan sepatuku warnanya coklat, putih sama hitam jadi dikombinasiin sama baju warna apa aja cocok, kalo dilihat orang juga gak kelihatan norak, kan kontras warnanya gak kelihatan. Trus kalo ngampus gak mesti ganti-ganti tiap hari, paling dua hari ganti, kan udah kotor” (Asih, 23/12/2010)

 

“Aku punya 11 pasang sepatu dan sandal, jadi pas ngampus bisa sering-sering ganti dan diimatchingin sama bajunya kan kelihatan oke” (Mey, 25/12/2010)

 

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Liana

“Aduh.. sepatuku banyak tuh mbak tapi yang sering ku pakai paling yang ada dirak depan itu… berapa ya (menengok rak sepatunya sambil tersenyum-senyum). Ada 5 pasang mbak. Aku seringnya pakai yang pink soale bajuku kebanyakan warna pink” (Liana. 26/12/2010)

 

Pernyataan-pernyataan dari informan tersebut menunjukakan bahwa apa yang diungkapkan oleh Paul du Gay, et al, (1997: 81) benar bahwa kebanyakan konsumen melakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan identitas diri. Ungkapan ketiga responden tersebut secara tidak langsung telah memaparkan bahwa melalui konsumsinya terhadap sepatu mereka ingin mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain bahwa dirinya tidak norak dan bisa tampil oke (menarik). Hal ini merupakan suatu proses pembentuan identitas luar diri seorang individu.

Sepatu sebagai hal pokok dan wajib dimiliki oleh seorang mahasiswa juga dirasakan oleh Erva, Nisa’ dan Ara, mereka juga menganggap sepatu adalah hal yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa karena sepatu menjadi salah satu unsur dalam peraturan dan tata cara berpakaian mahasiswa[15] hanya saja cara, pola pikir dan logika mereka berbeda.

“Sepatuku 2 pasang sendalnya 1 pasang aja. Sepatunya warna hitam sama putih tapi yang hitam udah jarang tak pakai soale udah agak rusak trus belum sempet tak sol (jahit). Jadi tiap ngampus yang tak pake ya ini trus. Lagian aku pengen tampil apa adanya aja” (Nisa’ 23/12/2010)

 

“Sepatuku cuma 1 pasang ini… ntar kalo ini dah rusak baru beli lagi. Sepatu banyak-banyak buat apa kalo satu aja uda cukup” (Erva, 23/12/2010)

 

“Sepasang thok.. sepatu banyak-banyak malah ribet, mendingan satu jadi gak pake ribet ngabisin waktu buat nyocok-nyocokin ma baju kalo mau ngampus. Lagian aku kan orange simpel dan gak suka ribet” (Ara, 24/12/2010)

 

Konsumsi yang dilakukan oleh kedua kelompok wanita muda (mahasiswi) tersebut tidak lepas dari upaya pembentukan identitas. Dijelaskan (dalam Roach dan Eicher, 1979 : 7) bahwa individu-individu mungkin memperoleh kesenangan estetis baik dari “penciptaan pameran pribadi” maupun dari “apresiasi dari orang lain”. Meskipun pola konsumsi antara kedua kelompok tersebut berbeda tetapi sebenarnya keduanya sama-sama ingin membangun sebuah image dihadapan orang lain. Mey, Asih dan Liana ingin membangun image atau identitas dirinya sebagai wanita muda (mahasiswi) yang menarik, tidak norak dan modis. Sedangkan Erva, Nisa’ dan Ara ingin membangun identitas mereka sebagai sosok wanita yang sederhana, simpel dan tampil apa adanya.

Kembali pada kerancuan antara nilai guna dan nilai simbolik konsumsi, dimana akan terjadi pertimbangan-pertimbangan dalam diri seseorang untuk melakukan konsumsi terhadap suatu barang. Perbedaan pertimbangan itu kembali muncul antara kedua kelompok responden.

“Gak punya uang, lagian aku gak ngerti jenis-jenis sepatu yang bermerek. Kalau beli gak pernah merhatiin merek asal nyaman dan pantas dipakai aja. Aku seringnya juga beli dipasar jadi mereknya ya gitu2 aja” (Erva, 23/12/2010)

 

Ungkapan tersebut senada dengan yang diunngkapkan oleh Nisa’

“Soale aku gak punya uang, kan sepatu-sepatu yang bermerek harganya pasti diatas seratus ribu. Mending uang segitu dibeliin barang yang punya harga jual kembali seperti misale emas gitu” (Nisa’ 23/12/2010)

 

Perbedaan pola konsumsi antara kedua kelompok tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik lingkungan ekonomi, keluarga maupun pergaulan. Dalam hal ini faktor ekonomi terkadang menjadi faktor utama pembentuk pola konsumsi setiap orang. Seperti yang diuangkapkan oleh Erva dan Nisa’ bahwa alasan utama mereka tidak memilih sepatu dengan merek global adalah karena keterbatasan ekonomi. Meskipun ada juga yang tidak mengkonsumsi sepatu bermerek karena alasan lain, seperti yang diungkapkan oleh salah satu teman penulis.

“Aku tuh gak pake sepatu yang bermerek, selain sayang uangnya juga gak biasa ja ntar malah diejek temen-temen.. selain itu aku gak pernah diajarin ibu’ suruh pake yang merek merekan so aku ya gak tau jenis sepatu bermerek, temen-temenku kebanyakan juga gak tau merek” (Ara, 24/12/2010)

 

Pernyataan informan ini menjadi salah satu contoh bahwa gaya hidup dan pola konsumsi selalu berubah sesuai dengan pengaruh lingkungan sekitar. Herri, dkk (2006) dalam penelitiannya tentang “Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Produk Hijau: Tinjauan Faktor Demografi, Psikologis, Sosial Dan Budaya (Kasus Kota Padang)”[16] juga telah menjelaskan bahwa perilaku konsumsi secara kuat dipengaruhi oleh karakteristik demografi, psikologis, sosial dan budaya. Faktor demografis meliputi jenis kelamin, usia dan siklus hidup, pekerjaan, pendapatan, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri. Faktor psikologis meliputi motivasi, persepsi, pengetahuan, serta keyakinan dan sikap. Sedangkan Faktor sosial meliputi kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka pola konsumsi dalam kehidupan Ara lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial yang lebih mengarah pada lingkungan keluarga dan pergaulan (kelompok acuan). Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Bahkan jika pembeli tidak lagi berinteraksi dengan keluarganya, pengaruh keluarga terhadap perilaku pembeli dapat tetap signifikan (Kotler, 1997).

Lain halnya dengan Mey, Asih dan Liana pertimbangan pola konsumsi yang mereka lakukan bukan lagi sekedar urusan ekonomi.

“Kebetulan hampir semua sepatuku mereknya Yongki sama St.Yves… itu karna aku suka model-modelnya aja yang trendi, lucu-lucu, unik trus jarang yang ngembari. Masalah uang buat beli aku sih seringnya dibeliin gebetan2ku, buat apa punya gebetan kalo gak dimanfaatin. Ibuku sering bilang kalo punya pacar tuh yang bisa menuhin keinginan kita gak cuma kebutuhan kita. Yang penting kan kita bisa menampilkan apa yang belum tentu bisa ditampilkan orang lain dan itu ya mahal harganya” (Mey, 25/12/2010)

 

“Awet aja kalo pake yang bermerek skalian…trus gak pernah nyesel kalo beli yang bermerek, kan kadang ada tu orang yang beli biasa nyampe rumah nyesel.. gak pengen aja kejadian kaya gitu. Emang sih mahal tapi kan sebanding sama yang kita dapet dan gak ketinggalan model aja. Kalo pengen yang berkualitas ya pastilah mahal” (Asih, 23/12/2010)

 

 

“Seneng aja mbak kalo pake yang mereknya terkenal..orang lain belum tentu bisa make lo mbak apalagi Manolo Blahnik.. Trus PD aja.. masa model pakenya sepatu sembarangan..hehehe… Masalah buat beli kan aku sering dapet honor kalo ada pemotretan, tapi sering juga sih minta sama ortu” (Liana, 26/12/2010)

 

Kelompok wanita muda (Mey, Asih dan Liana) ini memakai sepatu-sepatu yang bermerek dan yang lagi ngetrend dengan alasan utama supaya terlihat modis, gak ketinggalan trend, lebih percaya diri dihadapan orang lain atau teman-temannya dan ingin menunjukkan kepada orang lain “siapa dirinya”. Liana membeli sepatu merek Manolo Blahnik yang harganya diatas Rp 400.000,00 bukan sekedar hanya difungsikan sebagai alas pelindung kaki tetapi karena ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang model yang cantik dan selalu tampil perfect. Jadi banyak makna didalam sebuah merek sepatu bagi masing-masing wanita muda (mahasiswi). Konsumsi terhadap sebuah sepatu tidak lagi hanya difungsikan sebagai alas kaki tetapi sebagai bentuk pengkomunikasian identitas dan kelas sosial. Sebagaimana yang dijelaskan Malcolm Barnard dalam bukunya Fashion as Communication bahwa fashion (termasuk sepatu) memiliki beragam fungsi salah satunya sebagai simbol kelas sosial.

Kembali pada pernyataan Paul du Gay,et al, (1997: 99-102) bahwa penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan merek yang terkenal dan unik. Seperti yang diungkapkan oleh Mey bahwa secara tidak langsung merek sepatu Yongki Komaladi dan St.Yves dapat menunjukkan kepada orang lain bahwa dirinya adalah seorang yang mampu (kaya) karena dia bisa menampilkan (memakai) apa yang orang lain belum tentu bisa menampilkannya. Dia juga mengungkapkan bahwa merek yang ia pilih bisa memberikan kesan trendi, lucu dan unik. Hal-hal itu merupakan kesan yang diyakininya dapat menunjukkan identitas luarnya kepada orang lain dan siapa saja yang melihatnya.

Pola konsumsi terhadap sebuah sepatu yang dilakukan oleh kedua kelompok wanita muda (mahasiswi) ini juga tidaklah lepas dari pengaruh media. Jean Baudrillard (1997) meradikalkan konsep tentang konsumsi ini dengan menghubungkannya dengan kapitalisme global dan media massa yang selalu menciptakan dan menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Menurut Baudrillard masyarakat konsumen tidak lagi terikat oleh suatu moralitas dan kebiasaan yang selama ini dipegangnya. Mereka kini hidup dalam suatu kebudayaan baru, suatu kebudayaan yang melihat eksistensi diri mereka dari segi banyaknya tanda yang dikonsumsi. Pihak produsan atau kaum kapitalis tidak henti hentinya merancang dan menampilkan ikon-ikon moderinitas (tanda) dengan sebanyak banyaknya yang menarik perhatian masyarakat dan akhirnya dikonsumsi. Tanda tanda tersebut selalu disuguhkan kepada masyarakat dimanapun mereka berada, misalnya saja iklan-iklan yang setiap hari diputar dilayar televisi dan di tampilkan di hampir setiap lembar majalah dan koran-koran. Hal itulah yang sering menjadi racun bagi masyarakat hingga membentuk masyarakat konsumtif.

Seperti yang diungkapkan oleh informan bahwa pengetahuan mereka terhadap sebuah sepatu yang lagi ngetrend lebih banyak didapat melalui media massa yang secara tidak langsung telah merayu mereka untuk mengkonsumsinya.

“Aku beli sepatu yang Shopie itu gara-gara temenku bawa catalognya ke kampus.. akhirnya aku beli juga abis modelnya bagus banget trus itu edisi terbaru. Kan kalo ada catalognya gampang gak mesti ke outletnya tinggal pesen sama temen yang jadi member. Gara-gara itu juga aku sering pake produk Shopie selain sepatu. Eh malah sekarang aku ikut-ikutan jadi member.. itung-itung biar dapat potongan kalo pas pengen beli di Shopie” (Asih, 24/12/2010)

 

“Sering banget tuh mbak aku akses di Tokobagus.com kalo lagi ngenet.. disitu bisa liat-liat sepatu beragam merek dan model..dari yang model lama sampai yang terbaru ada..kadang aku ngabisin berjam-jam bukain semua pagesnya. Trus kalo akhirnya ada yang diminati besok-besoknya langsung aku cari ke outletnya. Aku gak pernah beli lewat online takut ketipu..mending langsung datangi ja tokonya” (Liana, 26/12/2010)

 

“Aku kan jarang liat TV abis dikos cuma satu trus buat orang banyak..makanya taunya model-model sepatu baru tu ya gara-gara sering ke SGM (Solo Grand Mall) trus liat poster-poster yang mamerin tuh sepatu” (Mey, 25/12/2010)

 

“Kalo pas liat iklan di TV tuh kadang ya pengen banget beli sepatu yang kaya gitu.. tapi kalo keinget harganya yang selangit jadi mengurungkan niat deh” (Erva, 23/12/2010)

 

“Pas liat iklan di TV sih biasa aja paling pengen sebentar habis iklan itu slesai ya udah gak pengen lagi…eh besoknya pas ngampus uda liat temenku pake tu sepatu yang diiklan..kadang tertawa sendiri kalo liat kaya gitu” (Ara, 24/12/2010)

 

Kutipan obrolan dengan informan tersebut menjadi gambaran bahwa media menjadi sangat berpengaruh dalam kegiatan konsumsi masyarakat dimana melalui media tersebuat akan timbul ”hasrat atau keinginan untuk membeli dan memiliki[17]” atas apa yang mereka lihat dan dirasakan menarik.

Ada satu lagi yang menarik dan ini sejalan dengan ungkapan Throstein Veblen dan Mowen & Minor (Dalam Paul du Gay, et al, 1997). Throstein Veblen menyatakan bahwa seberapapun miskinnya seseorang, tindakan konsumsinya tidak hanya mengarah pada “nilai guna”, tetapi selalu mengarah pada “nilai identitas”. Sementara Mowen & Minor mengatakan bahwa orang sering membeli produk bukan untuk manfaat fungsional tetapi lebih untuk nilai simboliknya. Nilai simbolik disini adalah berupa kemampuan mengkomunikasikan identitas diri konsumen kepada orang lain. Berikut ini ungkapan informan yang dapat memperkuat pernyataan Throstein Veblen dan Mowen & Minor tersebut.

“Sepatu bermerek sih bagus kadang bikin pengen banget punya yang kaya gitu tapi setelah dipikir-pikir selain gak dan uangnya buat beli juga ku rasa gak cocok ja sama style­ku. Aku kan udah biasa ke kampus atau kemana-mana pake yang cuma kaya gini (ngangkat kakinya) trus tiba-tiba pake yang kinclong dan bermerek malah ntar diomongin temen-temen. Aku tuh kalo beli sepatu ya yang biasa kan malah orang menilai kita sebagai wanita yang sederhana dan tidak royal. Kan gak semua orang pengen berteman sama orang-orang yang glamor…. terkadangkan orang yang sederhana justru punya image yang lebih baik” (Erva, 23/12/2010)

 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Nisa’

“Sekilas pengen kalo liat punya temen yang bermerek dan kelihatan bagus banget, tapi untuk memutuskan membeli atau tidak harus dengan pertimbangan lagi, kan juga melihat kondisi keuangan…trus kalo dipikir-pikir malah gak cocok juga buatku walaupun bagus. Sepatu bermerek itu tidak mencerminkan kesederhanaan padahal aku pengen bersikap dan bergaya sederhana yang tampil apa adanya seperti wanita wanita zaman Nabi” (Nisa’ 23/12/2010)

 

Kedua informan tersebut (Erva dan Nisa’) adalah teman-teman penulis yang memiliki latar belakang ekonomi menengah kebawah (sederhana), dan mereka memiliki perilaku tersendiri dalam mengkomunikasikan idenstitasnya dibanding teman-teman penulis yang berlatar belakang ekonomi menengah keatas (kaya). Mereka tidak ingin menampilkan image seperti apa yang ingin ditampilkan oleh teman-teman penulis yang lain (Mey, Asih dan Liana) namun mereka ingin menampilkan image “Sederhana dan tampil apa adanya”. Image sedarhana yang mereka maksud adalah tampil sesuai dengan kemampuan, tidak perlu mewah, glamor dan berharga mahal asalkan sopan dan rapi. Meskipun kedua kelompok responden tersebut memiliki kesenjangan dalam mengkonsumsi sebuah sepatu dimana yang satu dengan merelakan uang yang tidak sedikit sementara yang satu bisa dibilang lebih sedikit, tetapi sebenarnya keduanya sama-sama ingin mengkomunikasikan identitas mereka kepada orang lain. Disinilah letak kesamaan antara kedua kelompok responden tersebut dalam konsumsi, dimana konsumsi yang mereka lakukan selalu mengarah pada “nilai identitas”, tetapi identitas yang mereka bangunlah yang membedakan keduanya.

Menurut Baudrillard (1997) ada tiga logika yang terkait dengan tanda (termasuk konsumsi sepatu) . Pertama, logika fungsional nilai guna; yang merujuk pada logika pada praktik operasional dan kegunaan dan tampak merujuk juga objek saat dianggap sebagai instrumen atau sesuatu yang berkaitan dengannya. Kedua, logika ekonomi nilai tukar; yang merujuk juga pada logika ekuivalensi atau pasar dan tampak merujuk pada pertimbangan harga atau pertukaran komersial. Ketiga, logika pertukaran simbolis; logika ini merujuk pada logika ambivalensi atau pemberian dan merujuk pada pertimbangan keterlibatan relasi. Kedua kelompok responden telah memainkan semua logika yang disebutkan oleh Baudrillard, namun prosentase kecondongan logika antar logika pertama, kedua dan ketiga berbeda antara kelompok responden yang satu dengan yang satunya lagi. Menurut analisi penulis, kelompok responden yang pertama (Mey, Asih dan Liana) lebih mengarah pada logika yang ketiga dalam konsumsinya meskipun logika sebelumnya juga dipertimbangkan. Sementara responden berikutnya (Erva, Nisa’ dan Ara) lebih mengarah pada logika konsumsi yang kedua.

Objek (tanda yang dikonsumsi) juga mampu membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat pertandaan. Itulah mengapa orang cenderung menilai dan mengenali orang dari penempilan luarnya. Tanpa harus mempertanyakan kepada subjek tentang penghasilannya (keadaan ekonomi) kita sudah dapat melihat apakah orang yang menjadi subjek tersebut kategori orang kaya atau miskin hanya dengan memandang apa jenis dan merek yang dipakainya.

 


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keenam teman-teman penulis (responden) bukanlah representasi dari seluruh wanita muda yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta, karena setiap wanita memiliki pola konsumsi yang berbeda-beda. Maka keenam responden dalam tulisan ini hanya sekedar sebagai gambaran bahwa setiap individu (mahasiswi) memiliki pola konsumsi masing-masing yang tidak dapat digeneralisasikan kepada seluruh wanita muda. Perbedaan pola konsumsi pada setiap wanita muda (mahasiswi) banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, seperti halnya pengaruh media massa, lingkungna keluarga, latar belakang ekonomi, pergaulan dengan teman sebaya (peer group) dan lain sebagainya. Nampaknya media massa lebih member andil yang besar dalam penciptaan perilaku konsumsi yang akhirnya didukung oleh faktor ekonomi dan faktor-faktor lainnya.

Dalam kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh setiap wanita muda (mahasiswi) tidaklah mungkin terlepas dari proses pembentukan identitas diri. Apa yang mereka konsumsi adalah menjadi apa yang mereka tampilkan kepada orang lain. Mereka tidak hanya mengkonsumsi nilai guna dari suatu produk atau dalam hal ini sebuah “sepatu” yang dibelinya tetapi juga nilai simbolik yang dimunculkan melalui produk tersebut yang dapat menegaskan posisi dan statusnya dimasyarakat. Dalam kajian ini, merek adalah nilai simbolik dari suatu produk (sepatu) yang dapat memberikan ketegasan identitas seseorang. Dimana semakin bermerek produk (sepatu) yang dipakai maka akan semakin tinggi status pemakainya sehingga identitas dirinya sebagai orang yang kaya dapat terbaca oleh siapa saja yang melihat produk yang dikenakannya.

Kedua kelompok responden dalam tulisan ini memiliki pola konsumsi yang berbeda, tetapi dalam melakukan kegiatan konsumsi keduanya sama-sama ingin membangun identitas melalui produk (sepatu) yang mereka beli/pakai. Kelompok responden yang pertama (Mey, Asih dan Liana) ingin membangun identitasnya sebagai wanita muda (mahasiswi) yang ngetrend, mengikuti mode, modis, fashionable dan tentunya berasal dari keluarga kaya (menengah keatas). Sementara kelompok responden yang kedua (Erva, Nisa’ dan Ara) ingin membangun identitasnya sebagai wanita muda (mahasiswi) yang “sederhana” (tampil apa adanya sesuai dengan kemampuan, tidak perlu mewah, glamor dan berharga mahal asalkan sopan dan rapi).

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. Routledge.

 

Budaya Konsumen. http://eprints.undip.ac.id/9820/POSMODERNISME_DAN_BUDA YA_KONSUMEN.DOC/ diakses 14/10/2010.

 

du Gay, Paul, et. al. 1997. Doing Cultural Studies; The Story of the Sony Walkman. London: Sage Publications.

 

Foelung. 2010. Bung Hatta dan Kisah Sepatu Bally. Detik Forum. [On-line] http://forum.detik.com/bung-hatta-kisah-sepatu-bally t205340.html?s=1931bd 026ca89c8c937f6fdd95d9e1dc&t=205340 diakses 12/10/2012

 

Herri, dkk. 2006. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Produk Hijau: Tinjauan Faktor Demografi, Psikologis, Sosial Dan Budaya (Kasus Kota Padang). Jurnal Business & Manajemen Vol. 2, No. 1.

http://repository.unand.ac.id/…/ANALISIS_PERSEPSI_MASYARAKAT_TERHADAP_PRODUK_HIJAU.docx diakses 31/12/2010/12:35

 

Sagileorus r.a. 2010. Sejarah Sepatu Boots. http://segruckchemonk.blogspot.com/2010/ 04/sejarah-sepatu-boots.htm diakses 12/10/2010

 

Selu Margaretha Kushendrawati. Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme Global: Fenomena Budaya Dalam Realitas Sosial. 2006. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 2, DESEMBER 2006: 49-57.

 

Nurdiyansah. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Ada di Mana? Jurnal Perempuan : YJP (Yayasan Jurnal Perempuan).

 

Sujarwa. 2010. Mitos-Mitos di Balik Kisah Sinetron, Dalam Perspektif: Hegemoni dan Kapitalisasi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. [On-line]

http://oase.kompas.com/read/2010/08/04/00214697/Menguak.Potret.Kusam.Tayangan.Sinetron..diakses 12/10/2012/11:21

 

 

 


[1] Sujarwa. 2010. Mitos-Mitos di Balik Kisah Sinetron, Dalam Perspektif: Hegemoni dan Kapitalisasi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. [On-line]

http://oase.kompas.com/read/2010/08/04/00214697/Menguak.Potret.Kusam.Tayangan.Sinetron.diakses 12/10/2012

[2] Dalam psikologi, istilah shopaholic dikenal sebagai compulsive buying disorder (penyakit kecanduan belanja).

[3] Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication.

[4] Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. (hal. 87-88)

[5]Foelung. 2010. Bung Hatta dan Kisah Sepatu Bally. Detik Forum. [On-line] http://forum.detik.com/bung-hatta-kisah-sepatu-bally-t205340.html?s=1931bd026ca89c8c937f 6fdd95d9e1dc&t=205340 (diakses 12/10/2012)

[6] Hasil observasi penulis.

[7] Hasil observasi penulis di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (UNS).

[8] Peter N. Stearns. Consumerism in World History : the global Transformation of Desire. 2003. New York: Routledge Hal: ix

 

[9] Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. (hal. 217)

[11] Hasil Observasi penulis di pusat perbelanjaan Solo Grand Mall, Solo Squere dan Matahari Departement Store.

[12] Hasil Observasi penulis di sepanjang Jln. Dr. Radjiman Solo.

[13] Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication.

[14] Hal 117

[15] Pedoman Akademik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Tahun 2008/2009 (Hal. 34) bahwa mahasiswa harus berpakaian rapi, sopan dan bersepatu baik dalam perkuliahan, seminar, praktikum, ujian, penataran, upacara dan lain-lain.

[16] Herri, dkk. 2006. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Produk Hijau: Ti

METODE PENELITIAN ETNOMETODOLOGI

Pendahuluan

Metodologi adalah persoalan penting dalam ilmu pengetahuan atau sains. Untuk memperoleh pengetahuan yang sistematis, setiap peneliti bahkan ilmuwan membutuhkan metodologi. Metodologi merupakan cara-cara yang ditetapkan dengan logika tertentu untuk melihat realitas atau fenomena oleh para ilmuwan. Ada dua metodologi penelitian yang pokok dalam ilmu-ilmu sosial yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Secara epistemologis, kuantitatif adalah turunan dari positivisme. Positivisme merupakan sebuah paham dalam ilmu pengetahuan dan filsafat yang berasumsi bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh melalui proses penginderaan.

Pendekatan kuantitatif sangat menekankan pada objektivisme dan penggunaan alat bantu statistik. Sementara pendekatan kualitatif menekankan pada subjektivisme. Pendekatan kualitatif seperti yang diutarakan Bogdan dan Tylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukkan setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan, individu dalam batasan yang sangat holistic (Furchan, 1992). Jane Richie mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menyajian dunia sosial, dan perspektifperspektif di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteli. Sementara Moleong (2004) membatasi penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Membahas tipe-tipe penelitian sebenarnya dapat memunculkan perdebatan, karena buku yang satu dengan buku yang lain memberikan penggolongan yang berbedabeda mengenai tipe penelitian. Ada penulis yang tampaknya menyamakan tipe dengan metode-metode. Palys (1992) misalnya, menggolongkan tipe-tipe penelitian dalam :

1) metode-metode kontak langsung (misalnya wawancara, diskusi, penggunaan alat-alat projeksi)

2) metode-metode observasional

3) metode unobtrusive(tidak reaktif) dan arsip (misalnya studi hasil karya, catatan harian, dan bentuk-bentuk peninggalan lain).

Sementara itu, ada penulis yang mengartikan tipe penelitian sebagai ‘desain’. Punch (1998) misalnya, menggolongkan dalam desain penelitian kualitatif, studi kasus, etnografi dan grounded theory. Sementara itu Denzin dan Lincoln (1994) tampaknya memahami tipe-tipe penelitian dari sifat dan/atau pendekatan penelitian, misalnya dengan membagi tipe-tipe penelitian dalam antara lain, studi kasus; etnografi dan observasi partisipatif; fenomenologi, etnometodologi, praktekpraktek interpretif, metode biografi, dan penelitian klinis. Beberapa buku lain tampaknya menggolongkan ‘tipe-tipe’ penelitian dari tujuan khususnya. Dalam hal ini, metode metode yang ada dapat dipakai dalam tipe tipe penelitian yang berbeda. Yang dipentingkan adalah bahwa metode-metodeyang dipilih akan membantu tercapainya tujuan khusus dari penelitian.

 

Pengertian dan Konsep Etnometodologi

Neuman (1997) mengartikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, metode, teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi berasal dari kehidupan. Etnometodologi berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi, dan ini menjadikannya berbeda banyak dari sosiologi dan psikologi. Etnometodologi memiliki batasan sebagai kajian akal sehat, yakni kajian dari observasi penciptaan yang digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang sewajarnya. Secara terminology, etnometodologi

diterjemahkan sebagai sebuah metode pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek kebutuhan, diantaranya: pencerahan dan pemberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada permasalahan apa yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari, metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi didasarkan pada ide bahwa kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial yang sifatnya rutin, dan umum, mungkin dilakukan melalui berbagai bentuk keahlian, pekerjaan praktis, dan asumsi-asumsi tertentu. Keahlian, pekerjaan praktis, dan asumsiasumsi itulah yang disebut dalam etnometodologi.

Tujuan utama etnometodologi adalah untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat sense of indexical expression. Istilah indexical tidak bermakna universal namun bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka). Sifatnya terbatas pada yang diindeks atau dirujuk Subjek etnometodologi bukanlah anggota-anggota suku-suku terasing, melainkan orang-orang dalam perbagai macam situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia di tempat mereka hidup.Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan logika formal (formal logic).

Etnometodologi ditakrifkan sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. Masyarakat seperti ini bisa mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan dirinya sendiri (Ritzer, 1996).

 

Sejarah Metode Etnometodologi

Metode etnometodologi lahir pada masa modernis atau zaman keemasan perkembangan penelitian kualitatif. Pada masa itu terjadi proses formalisasi pendekatan kualitatif dan pertumbuhan jenis metode interpretif yang baru. Disamping adanya semangat untuk menyuarakan masyarakat kelas bawah, para cendekiawan di masa itu juga kembali kepada mazhab Chicago untuk mencocokkan argumentasi tentang validitas internal dan eksternal. Zaman keemasan ini memiliki arti dalam mewujudkan keyakinan pada kekuatan masyarakat dan bertahan pada gagasangagasan emansipatoris.

Dalam studi etnometodologi, cukup sederhana cara melihat validitas, karena biasanya disini tidak digunakan cara-cara konvensional dalam mengukur suatu konsep. Sebagai contoh etnometodologi melihat konsep alienasi lebih mendekati teknik grounded theory, misalnya dengan cara mengobservasi peraturan-peraturan yang bias diamati dari luar, kemudian memberinya lebel atau identitas tertentu. Sementara reliabilitas dapat dilihat dari hasil pembandingannya dengan metode lain yang sejenis. Oleh sebab itu, disini sangat bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah sosial yang sedang dihadapinya. Namun karena masalah yang sama dilihat dari segi metode yang berbeda, maka hasilnya pun relatif tidak akan sama (berbeda pula). Kesalahan yang bisa dan sering muncul adalah pada kasus-kasus yang

bersifat ambigu (mendua arti), atau kasus yang mempunyai peluang ditafsirkan berbeda-beda.

 

Harold Garfinkel dipertengahan tahun 1950-an, memperkenalkan istilah etnometodologi dalam bidang penelitian sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari sosiologi fenomenologi. Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi.

Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari realitasrealitas yang sangat berganda dimana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang diterima secara taken for granted dimana mengesampingkan keragu-raguan, kecuali realitas yang dipermasalahkan. Pembahasan realitas common sense Schutz ini member Garfinkel suatu perspektif melaksanakan

studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Yang dimaksud realitas sosial oleh Schutz adalah “keseluruhan objek dan kejadian-kejadian di dunia kultural dan sosial, yang dihidupkan oleh pikiran umum manusia yang hidup bersama dengan sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi sosial di mana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan sejak permulaan, kita, para aktor di atas panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya sekaligus dunia alam, bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar subjektif, artinya sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang dibentangkan dihadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati oleh siapa saja dari kita; dan ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa”.

Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat dimana seorang individu hidup. Motivasi actor tersebut menyatu dengan model model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parsons ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Istilah etnometodologi menjadi populer ditahun 1960 sampai dengan 1970-an dan sekarang semakin meluas diterima sebagai metode ilmiah. Para peneliti dari aliran ini mulai memperlihatkan praktik interpretif guna membuktikan bahwa objektivitas dunia dicapai dan dikelola secara lokal dengan merujuk kepada sumber daya sosial secara luas (sosial dan kultural) yang menghubungkan apa yang disebut oleh Garfinkel sebagai ‘seni’ dengan struktur interpretif yang sudah mapan. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi diantaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder.

Dalam prakteknya, etnometodologi Grafinkel menekankan pada kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Sementara itu, Jack Douglas menggunakan etnometodolgi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan (Furchan, 1992).

Etnometodologi tidak diartikan sebagai metode yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data, tetapi lebih tertuju pada bagaimana memilih pokok permasalahan yang akan diteliti. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Harold Garfinkel, bahwa istilah etnometodologi dijumpainya ketika ia mempelajari arsip lintas budaya di Yale yang memuat kata-kata seperti etnobotani, etnofisika, etnomusik, dan etnoastronomi. Itu mempunyai arti bagaimana para warga suatu kelompok tertentu (biasanya kelompok suku yang terdapat di arsip Yale) memahami, menggunakan, dan menata segi-segi lingkungan mereka. Dalam Hal etnobotani, subjek atau pokok kajiannya adalah tanaman.

Dengan demikian etnometodologi berarti studi tentang bagaimana individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari mereka, cara mereka menyelesaikan pekerjaan di dalam hidup setiap harinya. Garfinkel sendiri mendefinisikan etnometodologi sebagai penyeledikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.

Pekerjaan etnometodologi menurut Garfinkel(1967) studi tentang bagaimana orang-orang sebagai pendukung dari tatanan yang lazim menggunakan sifat-sifat tatanan itu untuk agar bagi para warga dapat terjadi ciri-ciri terorganisasi yang kelihatan nyata. Para ahli etnometodologi berupaya bagaimana cara orang memandang, menjelaskan, dan memberikan tatanan di dunia tempat hidupnya. Etnometodologi telah berhasil mengajak peneliti menjadi peka terhadap isu, yaitu penelitian itu sendiri bukan upaya ilmiah yang khas, tetapi lebih dilihat sebagai suatu pencapaian kerja yang praktis (Bogdan dan Biklen, 1990). Etnometodologi tidak bermakna ‘metode penelitian untuk mengumpulkan data’. Etnometodologi adalah kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu manusia untuk membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari.

Subjek kajian etnometodologi bukanlah suku-suku terasing, tetapi orang-orang biasa yang kita temui sehari-hari. Etnometodologi meneliti hal-hal kecil dan sepele yang ‘hidup’ di masyarakat. Kaum peneliti etnometodologi bahkan percaya bahwa penelitian itu sendiri tidak harus berarti kegiatan ilmiah yang sangat unik, tetapi bisa juga dilakukan untuk hal-hal praktis dan urusan sehari-hari. Etnometodologi menekankan dan mengakui fakta bahwa masyarakat awam (lay public) mencoba mengakui penjelasan sosial seperti yang dilakukan oleh ilmuwan. Lebih lanjut akal sehat mencoba menjelaskan bahwa anggota masyarakat membuat dan menjalankan rasa sosial (kesetiakawanan sosial) secara terus menerus.

Metode etnometodologi memiliki warna kajian yang berbeda dibanding metode kualitatif yang lain. Bertolak dari tradisi fenomenologis, yaitu social phenomenology yang dikembangkan Schultz, etnometodologi kemudian mengembangkan diri melalui jalur analitik dari hukum-hukum dasar, kemudian mengalami pengayaan diberbagai konstruksi, yang meliputi analisis percakapan dan kaidah interpretif.

 

Fokus Kajian Etnometodologi

Di dalam etnometodologi, peneliti yang ‘berasal dari luar’ harus dapat bersatu dan terlibat langsung dalam proses penelitian bersama-sama dengan ‘para aktor social setempat’. Peneliti harus bisa melebur di dalam komunitas masyarakat yang diteliti, dan karenannya harus sanggup berada bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti dalam satu bejana sosial yang kompleks. Hal yang lebih ditekankan dalam etnometodologi adalah peristiwa terjadi secara wajar di masyarakat. Dalam peristiwa itu berlangsung pola interaksi yang dapat dibaca dan diinterpretasi secara eksplisit. Pola interaksi yang dimaksud adalah interaksi orang-perorang (aktor sosial) dan interaksi antara orang dengan lingkungannya (institusi dan alam). Peneliti dan para actor sosial akan terlibat didalam interaksi dan diskusi yang intens untuk merumuskan masalah yang dihadapi.

Realitas sosial dihasilkan ‘dari dalam’ melalui prosedur interpretif para anggotanya. Kondisi sosial para anggota bersifat selfgenerating. Sifat ini menunjukkan dua sifat penting dari arti yang berhasil diungkap oleh peneliti. Pertama, arti sebelumnya yang bersifat indeks, yaitu arti yang tergantung pada koteks. Dalam arti, objek dan kejadian memiliki arti yang ambigu atau tidak tentu, tanpa konteks yang jelas. Hanya melalui penggunaannya yang bergantung pada situasi di dalam percakapan dan interaksi, abjek dan kejadian menjadi berarti secara konkrit. Kedua, kondisi-kondisi yang memberikan konteks bagi arti itu sendiri bersifat selfgenerating. Kegiatan-kegiatan interpretif berlangsung secara simultan di dalam dan di sekitar setting yang menjadi orientasinya dan yang dideskripsikannya. Jadi, realitas yang dicapai secara sosial bersifat reflektif.

Laporan deskriptif mengenai setting tersebut secara simultan dibentuk oleh setting yang

dibentuknya (Denzin & Lincoln, 1994). Peneliti dan aktor sosial (nara sumber) harus berada dalam kedudukan setara, melakukan tukar-menukar pengalaman (vis a vis), interaksi sosial yang intens (interpretive coparticipants), dan memiliki hak yang sama (termasuk hak untuk berbeda pendapat). Proses pencapaian kesepakatan di antara keduanya dilakukan secara kompromi, masing-masing menggunakan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada dibaliknya dan arti yang dimengerti bersama.

Dengan cara demikian, masyarakat local akan lebih memahami kebutuhannya (sense

of order), sehingga rencana pengembangan masyarakat sangat ditentukan oleh akumulasi wacana mereka. Peneliti dalam etnometodologi tampaknya akan menjadi sosok partisan yang baik, penulis yang jujur, dan fasilitator yang bersahabat. Logika akademis yang dimiliki peneliti dalam etnometodologi akan diuji dengan pengalaman antarsubjek dalam proses dialog sehingga logika akademis akan berbaur dengan common sense masyarakat lokal. Metode etnometodologi menyiratkan sejumlah harapan yang wajar. Sekalipun metode ini tidak memiliki hubungan langsung dengan pembangunan teori baru, tetapi cara kerjanya dalam mengupas peran actor sosial akan cukup menyibak kekenyalan data sosial. Cara para aktor social menjalankan tugasnya dapat menjelaskan tempat mereka hidup: belajar menghadapi masalah, memilih alternatif, dan melaksanakan pilihannya secara konsisten.

Dalam metode etnometodologi, data dalam penelitian sosial adalah berupa tindakan actor sosial yang meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit atau dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi tetap diakui dan dapat dikerjakan (percakapan melalui telepon, gelak tawa, tepuk tangan, pernyataan interaktif sampai pada formulasi ucapan).

Sementara itu dikenal lima prinsip dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman (1978), yakni:

1) Pengumpulan dan analisis data yang sangat rinci tentang percakapan

2) Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya diatur oleh ahli etnometodologi akan tetapi pada mulanya oleh aktor sendiri

3) Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari actor

4) Kerangka percakapan fundamental adalah organisasi yang teratur

5) Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.

Secara metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan dalam dalam konteks yang wajar, sering menggunakan alat perekam. Asumsi dasar analisis percakapan terdiri dari:

1) Percakapan adalah landasan dari bentuk bentuk hubungan antar personal

2) Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah meresap; dan

3) Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan sehingga dalam etnometodologi bahasa diguakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dalam perkembangannya, focus kajian etnometodologi beragam perilaku kehidupan sehari-hari, oleh karena itu muncul banyak jenis kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu itu sendiri.

Ritzer (1996) menggambarkan sejumlah variasi kerja etnometodologi.

1) Studi etnometodologi berlatar belakang analisis institutional (studies of institutional setting). Studi etnometodologi yang pertama kali dilakukan terjadi dalam setting ‘sambil lalu’ dan non-institutional, seperti di rumah. Kemudian, studi etnometodologi berkembang untuk mempelajari praktik-praktik keseharian dalam setting institutional yang lebih luas, seperti di pengadilan, klinik medis dan kantor polisi. Tujuan studi semacam ini untuk memahami cara masyarakat dalam setting tersebut melakukan tugas-tugas resminya dalam proses pembentukan institusi; dan

2) Studi etnometodologi menaruh perhatian pada analisis percakapan (conversation analysis), dengan tujuan untuk memahami secara detail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Ritzer (1996) merangkum dasar-dasar analisis percakapan ke dalam lima premis, yaitu:

a. Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang detail. Data ini tidak hanya meliputi kata-kata tetapi juga keraguraguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat;

b. Detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodologi, tetapi oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri;

c. Interaksi umumnya dan percakapan khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para actor akan dilibatkan;

d. Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential; dan

e. Keterikatannya dengan interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.

Secara umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara:

1. Wawancara informal, yakni proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi demikian, orang-orang yang diajak berbicara mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang diwawancarai secara sistematis untuk menggali data:

2. Wawancara dengan pedoman umum, yakni dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara(interview guide) yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada halhal/ aspek-aspek tertentu dari kehidupan/pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam;

3. Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka, yakni dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada narasumber yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti. Bentuk ini akan efektif dilakukan bila peneliti melibatkan banyak pewawancara, sehingga peneliti perlu mengadministrasikan upaya-upaya tertentu untuk meminimalkan variasi, sekaligus mengambil langkahlangkah menyeragamkan pendekatan terhadap narasumber(Patton, 1990).

Etnometodologi memiliki beberapa asumsi yang dapat diterangkan dari perspektif kajian (McQuarie, 1995), sebagai berikut:

(1) Terjadinya asas reciprocal (bolak-balik) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan aktor social yang terlibat, sehingga dapat dikatakan ‘bahwa kebenaran yang dianut seseorang adalah kebenaran yang dianut oleh orang lain’

(2) Objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya dunia atau lingkungan atau kenyataan, adalah yang tampak terjadi; dan keraguan terhadap kenyataan tersebut patut untuk diragukan

(3) Adanya proses yang sama. Dalam arti, bilamana sesuatu hal terjadi di suatu tempat di suatu waktu, maka hal tersebut akan dapat terjadi pada tempat dan waktu lain

(4) Adanya proses indexicality, yaitu ‘daftar istilah’. Masyarakat memiliki perbendaharaan pengetahuan lokal yang telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu kepada indeks lain yang juga telah ada . Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan lebih luas

(5) Adanya proses reflectifity, sebagai ‘gambaran tentang arti’, atau suatu interpretasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu didefinisikan. Untuk mengatakan seseorang itu ‘bersalah’ atau ‘lugu’, maka harus diturunkan dari pengertian umum ke pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud. Namun, sesungguhnya peneliti tidak pernah melihat kebenaran itu, kecuali hanya melihat tentang kebenaran tersebut atau berkenaan dengan kebenaran tersebut.

Untuk mendapatkan kebenaran, peneliti seharusnya tidak diperkenankan sampai ‘memaksa’ masyarakat. Adanya jeda yang harus diperhitungkan, misalnya ketika aktor sosial merasa ‘lelah’ atau menjurus kepenampilan emosi. Oleh sebab itu, dalam menggali informasi, peneliti tidak diperkenankan memaksakan kepada nara sumber untuk mendapatkan pembuktian yang jelas. Ungkapan permintaan maaf peneliti adalah suatu keputusan yang bijak. Peneliti harus mengerti semua itu apa adanya, dan tidak memaksa untuk mendapatkan informasi yang jelas yang justru dapat menimbulkan akibat tidak validnya data. Praktik etnometodologi dengan masyarakat sebagai bidang kajian memiliki implikasi yang bersumber dari keterbatasan sifat manusia itu sendiri, seperti:

a. Perihal eksistensi masyarakat. Jika tidak ada pertanyaan mengenai realitas yang dibentuk bersama, maka sebenarnya masyarakat dibentuk bersama melalui emosi

b. Keterbatasan pengetahuan tentang manusia akan menimbulkan tindakan atau pemikiran yang mengurangi kesulitan yang berkaitan dengan indexicality (daftar istilah) dan reflectivity (gambaran tentang arti). Akibatnya, kenyataan selalu diasumsikan dalam keadaan normal

c. Masalah kelemahan atau keterbatasan pengetahuan manusia dapat diatasi dengan tindakan pemilihan yang rasional, pertukaran, interaksi simbolik, dan sebagainya. Oleh karena itu, etnometodologi merupakan kritik yang cukup tajam dalam ilmu pengetahuan. Di sini, tindakan yang dilakukan merupakan pemikiran yang didasarkan pada pengetahuan ‘terbatas’ itu (Salim, 2006).

 

Etnometodologi Sebagai Metode Penelitian Kualitatif.

Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif:

1. Etnometodologi memusatkan kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada perilaku nyata. Setiap masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki steriotipe dan ideologi khusus, termasuk ras, kelas social dan gender. Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideologi yang sangat populis

2. Merupakan strategi yang dapat dilakukan melalui discourse analysis (analisis wacana). Paradigma yang dianut adalah semiotic, sehingga metode yang paling tepat adalah dialog. Sumber data dapat diungkap melalui observasi-observasi dengan pencatatan data yang teratur menggunakan field note. Pengembangan pertanyaan dilakukan dengan betuk verbal, social interaktif dan dialog

3. Etnometodologi memiliki keunggulan dalam mendekati kehidupan empiric, dalam hal ini ada program penekanan yang diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model interaktif antara peneliti dan actor

4. Sosial (observasi partisipasi)

5. Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan indepth interview, akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wawancara percakapan terbuka. Setiap wacana percakapan dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal.

No

Unsure

Pelaksanaan Kegiatan

1 Paradigma Semiotic: wacana percakapan

harus bermula dari kepentingan

masyarakat lokal. Masalah sosial

tumbuh dari bawah yang harus

mencerminkan kehidupan

sehari-hari.

2 Strategi

Kegiatan

Discourse Analysis: dilakukan

diskusi intensif dengan aktor

lokal. Peneliti harus bersatu

dengan aktor sosial, upaya ini

dilakukan untuk dapat

memahami jenis, bentuk

percakapan hingga dapat

diketahui strukturnya.

3 Pengumpulan Data In-Depth

Interview/Conversation

4 Fokus

Penelitian

Kontekstual (tergantung pada

konteks masalah lokal)

5 Perkiraan

Kasus

Tergantung pada masalah

penelitian, jumlah kasus

disesuaikan dengan sifat, jenis

dan karakter masalah.

 

Keunggulan dan Kelemahan Etnometodologi

Dalam penggunaan metode etnometodologi dijumpai beberapa keunggulan dibandingkan metode lainnya, diantaranya :

1) Longitudinal: sebagai suatu metode observasi yang sedang berlangsung, etnometodologi dapat merekam perubahanperubahan apa yang terjadi, dan tidak harus menyandarkan diri pada ingatan partisipan seperti rekaman dalam penelitian survey cross sectional.

2) Baik prilaku nonverbal maupun verbal, keduanya dipelajari oleh etnometodologi.

3) Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang bagaimana narasumber menyadari atau merasa benar-benar dalam keadaan sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana mereka menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi peneliti dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh penelitian survey

4) Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehatnya.

Disamping memiliki keunggulan, etnometodologi memiliki kelemahan diantaranya:

1) Produk: Etnometodologi bukan merupakan pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari produk-produk sosial. Misalnya dalam melakukan penelitian tidak seharusnya meneliti tentang sikap etnis tertentu dengan menggunakan etnometodologi, meskipun bias menggunakannya untuk mempelajari proses terjadinya atau berasalnya sikap tadi.

2) Studi dalam skala luas: Sikap masyarakat dalam skala luas lebih cocok diteliti dengan menggunakan metode survey dibandingkan dengan etnometodologi. Disamping itu, memang sikap adalah produk yang hanya baik jika diteliti dengan menggunakan metode penelitian survey, atau metode lain yang bukan etnometodologi

 

Kesimpulan

Kemunculan metode etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Peneliti konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan social tersebut berlangsung. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yaitu sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometodologi adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.

Tujuan studi institusional etnometodologi adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi. Sementara itu, analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan sebagai unsur dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial. Tradisi etnometodologi , yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka.

Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Furchan, Arief, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

 

Irawan, Prasetya, 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI.

 

Moleong, Lexy J, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

 

Rosdakarya. Salim, Agus, 2006. Teori & Paradigma : Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Standar Utama eLearning Berkualitas

Dalam proses pembuatan modul eLearning Pengajaran Profesional dan Pembelajaran Bermakna DBE3 bekerja sama dengan South East Asian Ministers of Education Organization Regional Open Learning Centre, atau yang lebih dikenal dengan singkatan SEAMOLEC. Dalam proses ini tercetuslah sederetan standar untuk pengembangan modul eLearning di Indonesia.

Standar ini adalah standar resmi yang harus diterapkan oleh mereka yang ingin mengembangkan modul pembelajaran jarak jauh. Standar ini memberikan sasaran-sasaran terukur bagi mereka yang merancang, mengembangkan, dan menyelenggarakan eLearning dalam menghasilkan dan menghantarkan modul eLearning berkualitas sehingga dapat menghasilkan pembelajaran yang efektif.

Berikut ini adalah standar yang dimaksud:

Standar Utama eLearning Berkualitas

1. MENGGUNAKAN MODEL TERTENTU UNTUK DESAIN PEMBELAJARAN

Hal ini sering disebut sebagai desain Instruksional seperti model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation/Analisis, Desain, Pengembangan, Penerapan, dan Evaluasi). Model ini harus meliputi hasil-hasil analisa konteks (peserta didik (pemelajar), materi, dan media), pemetaan proses pembelajaran, dan evaluasi terhadap hasil belajar.

2. TERFOKUS PADA PESERTA DIDIK (PEMELAJAR)

Memungkinkan para peserta didik (pemelajar) mampu menerima pembelajaran termasuk materi, tingkat kesulitan, dan bahasa yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan kebutuhan para peserta didik (pemelajar) serta tingkat pengetahuan mereka. Kenali dan buatlah desain sesuai dengan karakteristik peserta didik (pemelajar). Pengembang memposisikan sebagai peserta didik (pemelajar) agar peserta didik (pemelajar) terlibat dalam lingkungan eLearning.

3. MENYERTAKAN HASIL-HASIL BELAJAR YANG DINYATAKAN SECARA JELAS DAN MUDAH DIPAHAMI

Para peserta didik (pemelajar) harus memahami apa yang akan mereka peroleh dengan menuntaskan program eLearning. Hasil-hasil belajar harus disertakan dalam setiap bagian modul eLearning sebagai umpan balik.

4. MELIBATKAN DAN MEMIKAT PARA PESERTA DIDIK (PEMELAJAR)

Lingkungan eLearning harus didesain agar langsung memikat para peserta didik (pemelajar). Desain tersebut harus mendorong para peserta didik (pemelajar) untuk terlibat ke dalam lingkungan tersebut. Mereka harus dapat dengan cepat melihat bagaimana eLearning bermanfaat bagi mereka. Desainnya harus tetap memikat dengan memungkinkan para pelajar untuk mampu berinteraksi dengan konten dan membantu perkembangan mereka melalui lingkungan eLearning.

5. MENYERTAKAN KONTEN YANG TERSUSUN SECARA LOGIS

Konten harus mudah dibaca, dipahami, digunakan, dan ditelusuri oleh para peserta didik (pemelajar). Materi belajar dipilah ke dalam bagian-bagian logis yang memudahkan para pelajar untuk dibaca, dilihat, dicari, diatur, dan dipelajari. Pembagian konten harus dilakukan dengan cara yang dapat menarik minat para pelajar dan membuat mereka merasa tertantang.

6. MEMBERIKAN KEMUDAHAN BAGI PESERTA DIDIK (PEMELAJAR) DALAM MENELUSURI LINGKUNGAN ELEARNING

Penelusuran yang efektif harus memungkinkan penggunaan berbagai cara untuk mencapai tujuan umum. Menggunakan menu, sesuai tingkatan dan dengan bantuan navigasi untuk memudahkan para peserta didik (pemelajar) untuk berpindah dari satu bagian ke bagian lain dan kembali ke bagian awal tanpa tersesat.

7. TAMPILAN MENARIK

Tampilan menarik bagi peserta didik (pemelajar) harus disesuaikan dengan budaya masing-masing. Apa yang dilihat oleh para pelajar harus menyenangkan dan mendorong proses pembelajaran.

8. MEMBERIKAN AKSES YANG MUDAH BAGI PARA PEMELAJAR TERHADAP SUMBER BELAJAR

Memberi kemudahan bagi peserta didik (pemelajar) untuk mengakses sumber belajar yang memungkinkan peserta didik (pemelajar) memperoleh kompetensi yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran. Sumber belajar harus mudah diakses oleh peserta didik dengan menggunakan media sesuai dengan situasi, kemampuan dan teknologi yang tersedia.

9. PENGGUNAAN MULTIMEDIA SECARA EFEKTIF DAN EFISIEN

Multimedia berkualitas dapat membantu proses belajar. Kesalahan pemilihan dan penggunaan multimedia dapat mengganggu pembelajaran. Berbagai jenis multimedia seperti audio, video, gambar, diagram, bagan, animasi, simulasi, dsb., dapat menyampaikan beragam tujuan pembelajaran dan materi ajar. Pemilihan jenis multimedia yang akan digunakan harus berdasarkan kebutuhan para pelajar, tujuan pembelajaran, dan teknologi serta kemampuan mayoritas pelajar yang mengaksesnya.

10. MENJADIKAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI INTERAKTIF AGAR EFEKTIF

Teknologi web interaktif dapat melibatkan para pelajar secara aktif di dalam lingkungan eLearning. Akan tetapi, berkaitan dengan multimedia, penggunaan teknologi interaktif yang tidak layak dapat membuat tujuan pembelajaran tidak tercapai. Penggunaan teknologi interaktif berbasis web harus dapat membuat pembelajaran sebagai proses yang aktif dan efektif.

11. MENYEDIAKAN MEKANISME UMPAN BALIK BAGI PEMELAJAR

Sebagai bagian dari keterlibatan peserta didik (pemelajar) dalam lingkungan eLearning dan memberikan umpan balik yang berharga bagi pengembang dan pengelola, penting adanya komunikasi antar peserta didik (pemelajar) dan umpan balik antar peserta didik (pemelajar), pengembang dan pengelola. Dapat berupa pelaporan persoalan-persoalan tentang penggunaan lingkungan tersebut, mengutarakan pertanyaan mengenai cara menggunakan lingkungan eLearning, atau membuat para pengembang mengetahui apa yang paling digemari para pengguna tentang lingkungan eLearning.

12. MENYEDIAKAN MEKANISME KEPADA PEMELAJAR UNTUK MELIHAT, MENGAWASI, DAN MENILAI PEMBELAJARAN MEREKA

Pembelajaran semakin meningkat apabila para pelajar mampu menilai pembelajaran mereka. Untuk meraihnya, lingkungan eLearning harus menyertakan mekanisme penilaian seperti latihan, kuis atau tes online yang dapat memberikan umpan balik segera kepada para peserta didik (pemelajar) atas jawaban mereka.
Standar yang Diharapkan bagi eLearning Berkualitas

Selain itu, terdapat juga sejumlah standar yang diharapkan bagi e-Learning berkualitas. Berikut ini adalah standar tersebut:

1. MEMANFAATKAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI SECARA EFEKTIF

Ketika diperlukan untuk pencapaian tujuan belajar lingkungan tersebut dan situasi para pelajar, lingkungan eLearning harus mampu membuat para pelajar saling berkomunikasi satu sama lain dan dengan para fasilitator belajar atau para manajer lingkungan eLearning. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan obrolan berbasis web, pesan singkat, email, faks, ponsel, fora, blogging, twitter, dsb.

2. MAMPU MEMBUAT PARA PEMELAJAR BERKOLABORASI

Ketika diperlukan untuk pencapaian tujuan belajar lingkungan tersebut, lingkungan eLearning harus mampu membuat para pelajar berkolaborasi secara online atau melalui grup temu muka. Pekerjaan kolaborasi dan grup harus bermanfaat dan dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran yang berkualitas. Kolaborasi dapat bersifat sinkronis atau asinkronis.

3. MEMBERI MASUKAN KEPADA PARA PEMELAJAR UNTUK MENGEMBANGKAN PEMBELAJARAN MEREKA

Agar mampu membuat para pelajar berkembang melampaui batas-batas suatu lingkungan eLearning, modul yang tersedia harus memberi masukan atau akses terhadap sumber daya kepada para penggunanya untuk mengembangkan pembelajaran mereka terhadap topik lingkungan eLearning.

Nah, bagi anda yang juga ingin mengembangkan modul pembelajaran jarak jauh atau e-earning, jangan lupa untuk menggunakan standar-standar tersebut di atas agar modul yang anda hasilkan menjadi modul eLearning yang berkualitas.

Sudah siapkah peserta didik memanfaatkan eLearning?

Setelah pulang dari pelatihan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pembelajaran, tampaknya Pak Ali semakin semangat menggunakan laptop di dalam kelas. Hampir semua materi dia sampaikan menggunakan senjata barunya, laptop dan projector. Tidak henti-hentinya pak Ali menekan tombol next dan dengan semangat menjelaskan dari slide satu ke slide yang lain. Matanya sekali-kali melirik layar bergantian dengan pandangannya kepada murid-muridnya. Setelah itu pak Ali memberikan alamat linkuntuk pembelajaran lanjutan agar murid-muridnya dapat menggali lebih banyak tentang materi yang disampaikan.

Pak Ali diberitahukan oleh pelatih pada saat pelatihan bahwa dengan memanfaatkan TIK, pembelajaran jadi lebih menyenangkan dan materi bisa disampaikan dengan lebih cepat. Memang itulah yang pak Ali dapatkan pada saat memberikan materi di kelas. Namun, ketika tiba waktu evaluasi hasil belajar, pak Ali merasa heran dengan perolehan nilai muridnya. Sepertinya dengan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran tidak terjadi perubahan signifikan dalam perolehan nilai muridnya, bahkan dalam beberapa materi terjadi penurunan nilai dibandingkan ketika pak Ali belum memanfaatkan TIK dalam pembelajaran.

Seperti halnya pendidik yang baik, pak Ali melakukan refleksi pengajaran yang dia lakukan. Dia menyadari bahwa selama memanfaatkan TIK dalam pembelajaran, fokus pembelajaran bukan lagi kepada muridnya tetapi lebih kepada slide yang ditampilkan di depan kelas. Murid tidak lagi aktif, tetapi cenderung lebih pasif. Pembelajaran bukan lagi student centered, bukan juga teacher centered, tetapi lebih kepada slide centered.

Pelatihan yang didapatkan pak Ali diharapkan dapat mendorong pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Namun ada satu komponen yang kurang diperhatikan dalam sebuah kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, padahal komponen ini adalah komponen yang paling utama dalam pembelajaran, yakni peserta didik. Sudah siapkah peserta didik memanfaatkan TIK dalam pembelajaran/eLearning?

Untuk mengetahui sampai sejauh mana kesiapan peserta didik dalam memanfaatkan TIK dalam pembelajaran, tanyakan terlebih dahulu kepada peserta didik hal berikut:

  1. Sampai sejauh mana mereka menguasai teknologi yang dipakai dalam pembelajaran. Sebagai contoh: Apakah peserta didik tahu bagaimana menjalankan file animasi di komputer mereka? Plugin apa saja yang diperlukan (Flash, Real Media, Shockwave, PDF)?
  2. Pengalaman mereka dengan pembelajaran berbasis TIK atau eLearning. Sebagai contoh: Apakah peserta didik pernah mendapatkan pembelajaran eLearning sebelumnya? Apa saja masalah dan tantangan yang mereka hadapi? Kecakapan belajar apa saja yang diperoleh dengan memanfaatkan eLearning?
  3. Harapan mereka dengan adanya pembelajaran berbasis TIK. Sebagai contoh: Pengetahuan atau kecakapan apa yang diharapkan dengan mengikuti pembelajaran berbasis TIK?
  4. Waktu yang tersedia. Sebagai contoh: Berapa jam per hari atau per minggu yang tersedia bagi peserta didik untuk membuka tautan/link untuk pembelajaran mandiri? Bagaimana komitmen peserta didik untuk melakukan pembelajaran online?
  5. Kemudahan mereka dalam mendapatkan akses teknologi dan/atau internet. Sebagai contoh: Apakah peserta didik dapat mengakses internet di luar sekolah? Bagaimana cara mengaksesnya? Apakah di rumah atau di warnet? Apakah terdapat komputer yang dapat digunakan untuk pembelajaran online?
  6. Kenyamanan mereka menggunakan komunikasi synchronous dan asynchronous. Sebagai contoh: Apakah peserta didik merasa nyaman dengan melakukan komunikasi melalui chatting dan email atau forum diskusi? Apakah sebelumnya peserta didik pernah mengikuti forum diskusi online?
  7. Bantuan teknis yang dapat diperoleh. Sebagai contoh: Apakah terdapat anggota keluarga mereka yang mampu membantu pada saat terjadi problem teknis dengan komputer yang sedang digunakan? Apakah terdapat kontak technical support ISP apabila internet tidak dapat diakses?

Sun Tzu dalam Art of War, mengatakan “If you know your enemy and know yourself, you need not fear the results of a hundred battles.” Sama halnya dalam pembelajaran, seorang pendidik harus mengetahui kondisi dirinya dan kondisi peserta didik untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal. Seringkali yang dilakukan pendidik lebih pada kesiapannya mengajar di depan kelas, dan bukan kesiapan peserta didik. Dengan melakukan analisa peserta didik terlebih dahulu, pak Ali dapat memenangkan pertempuran.

Konsep Pendidikan Berkarakter

Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan pada kecerdasan kognitif. Hal ini dapat dilihat dari orientasi sekolah sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian mid, ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa.

Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi angka angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter unggul.

Pengertian Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Konsep Pendidikan Karakter
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Kofigurasi Karakter
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Cuti Bersama

PENGUMUMAN mendadak pemerintah tentang cuti bersama pada 12 lalu, cukup membuat sebagian masyarakat terkejut. Belum hilang rasa terkejut itu, publik dikejutkan lagi dengan pengumuman pemerintah tentang cuti bersama 3 Juni 2011. Tentu saja menarik untuk membicarakan cuti bersama, mengingat bangsa ini seharusnya bekerja lebih keras lagi agar cepat lepas dari krisis multidimensi.

Dengan kembali menetapkan cuti bersama yang waktunya berdekatan, banyak pihak yang menilai pemerintah seperti tidak memiliki “sense of crisis.” Sebab dibandingkan negara lain, Indonesia memiliki libur paling panjang, libur nasional dan cuti bersama. Pemerintah beralasan cuti bersama dapat meningkatkan produktivitas, lebih efektif, dan efisien, meski belum ada kajian ilmiahnya.

Di lingkungan birokrat, cuti PNS diatur dengan PP Nomor 24 Tahun 1976. Perarturan itu menjelaskan jenis dan tata cara pengambilan cuti, meliputi cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti bersalin, cuti karena alasan penting, dan cuti di luar tanggungan negara.

Artinya, semua pegawai berhak atas cuti itu, bebas menentukan kapan akan mengambilnya. Juga tidak ada sanksi jika mereka tidak mengambil cuti. Cuti bersama yang ramai dibicarakan itu, tampaknya kurang sejalan dengan filosofinya. Cuti adalah hak tiap pegawai atau karyawan dan diambil sesuai kebutuhan. Namun ketika formatnya menjadi cuti bersama, ia berubah menjadi kewajiban.

Di lingkungan industri dan perkantoran swasta, cuti bersama justru menimbulkan masalah. Di beberapa perusahaan swasta, status karyawan dibedakan menjadi karyawan tetap dan tenaga kontrak. Bagi karyawan tetap, cuti bersama tidak mengakibatkan gaji dipotong karena yang hilang hanya uang transpor dan uang makan.

Hal ini berbeda dari tenaga kontrak karena gaji diperhitungkan berdasarkan produktivitasnya. Artinya, kalau tidak bekerja, termasuk diliburkan oleh pimpinan perusahaan, mereka tidak menerima gaji. Jadi bagi golongan ini, cuti bersama sama saja artinya dengan kehilangan penghasilan. Padahal banyak pihak yang juga menggantungkan hidupnya dari aktivitas perusahaan.

Bila dikatakan, cuti bersama bisa menjadi mimpi buruk bagi kelompok masyarakat marginal. Pemerintah harus melihat jauh ke depan, sebelum mengeluarkan intruksinya kepada publik, termasuk dengan kebijakan cuti bersama.

Bukan hanya itu, di bidang pendidikan cuti bersama berarti menambah jumlah libur sekolah dan pasti mengganggu proses kegiatan belajar mengajar. Tidak mustahil angka kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah tidak akan tercapai. Akibatnya, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikanpun bisa menghadapi persoalan serius.

Melihat berbagai bias yang diakibatkan oleh cuti bersama, ada baiknya bila pemerintah mengkaji kembali kebijakan cuti bersama. Bila memang cuti bersama dianggap mampu meningkatkan produktivitas kerja, maka harus dibuktikan bahwa cuti bersama memang mampu meningkatkan produktivitas pegawai. Jangan sampai kebijakan cuti bersama digulirkan, hanya karena keinginan “mayoritas” yang sebenarnya menunjukkan sifat pemalas. Semoga tidak demikian.

Singapura, Provinsi Terbaru RI

Ada guyon konyol saat ribut masalah mobil nasional taun 1990-an. Keluarga Cendana ribut. Masalahnya sepele, si Tommy biasa menjual mobil nasional, Timur, tanpa punya pabrik mobil. Akhire Bambang, niru mengeluarkan mobil Cakra dan Manggala. Persis seperti senjata pamungkasnya Sri Kreshna.

Jepang, pengekspor mobil ribut. Lha ternyata si Timor mobilnya Tommy itu, 100 % KIAnya Korea. Hanya ganti nama saja. Akhirnya, Rudini yang bekas menteri dalam negeri itu berkata,” sebaiknya masukkan saja Korea Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia.” Dari pada ribut. Pak Harto kok dilawan.

Sekarang Singapura juga begitu. Dari Riau cukup naik kapal juga sampe. Makanya banyak penjahat yang lari ke Singapura. Bahkan konon kabarnya, Singapura itu kaya karena cukong kita lebih suka tinggal dan inves di sana.

Sejarah Singapura memang tidak bisa dilepaskan dari Indonesia. Ya, Jaman “Ganyang Malaysia”, meskipun Bung Karno melarang jual beli dengan Malaysia, diam-diam Pak Harto jualan beras ke Singapura (dulu masuk Malaysia), lewat Liem Swie Liong.

Sekarang kita pusing, kalau para terpidana akhirnya memilih Singapura sebagai tempat pariwisata. Aman, fasilitas mewah. Saya juga akam kabur ke Singapura setelah korupsi. Hehehehe……

Makanya kenapa kok sampe sekarang Singapura tidak mau melakukan mematuhi perjanjian extradisi dengan Indonesia ? Singapura itu selalu ngeles, karena perjanjian extradisi itu tidak tergolong law making treaty yang memiliki sangsi bila tidak dilaksanakan.

Bisa jadi diam-diam Singapura memang membuka paket wisata untuk para terpidana. Makanya, dari pada pusing mendingan kita akui saja Singapura sebagai provinsi kita. Biarlah para terpidana mati karena hukum karma!